PENDAHULUAN
Yang disebut jabatan
adalah pekerjaan yang ditugaskan oleh penguasa yang lebih tinggi daripada yang
melaksanakan pekerjaan itu. Adapun Penguasa yang lebih tinggi itu di sini
adalah Tuhan Allah sendiri. Jadi jikalau karya penyelamatan Kristus dipandang
dari segi jabatanNya, hal itu berarti, bahwa Kristus menunaikan tugas
penyelamatanNya itu bukan karena kemauanNya sendiri, bukan atas namaNya
sendiri. Penyelamatan yang dikerjakan adalah suatu tugas yang diterimakan oleh
Tuhan Allah sendiri kepadaNya. Ia bukan orang yang mengajarkan suatu ajaran
baru, yang timbul dari pikiranNya sendiri. Ia juga bukan hanya seorang yang
baik, yang layak dijadikan teladan bagi manusia. Sebab Ia, karena jabatanNya,
memiliki kuasa. Karya penyelamatanNya dilakukan atas nama Tuhan Allah sendiri.[1]
Dalam Alkitab dan Gereja Kristen, Yesus disebut Kristus. Dalam
bahasa Yunani, Kristus artinya “Yang diurapi”. Dalam bahasa Ibrani disebut Masyiakh atau Mesias. Hal ini menunjukkan adanya suatu jabatan yang dimiliki
Kristus. Dalam PL terdapat tiga macam jabatan yaitu nabi, imam dan raja. Mereka
yang memiliki jabatan ini adalah mereka yang telah diurapi dengan minyak
urapan. Mereka dipanggil untuk melaksanakan suatu tugas istimewa, dan
diperlengkapi dengan karunia Tuhan.[2]
Ajaran tentang ketiga jabatan ini menekankan kesatuan antara pekerjaan Yesus
Kristus dengan PribadiNya. Yesus
Kristus sendiri adalah Jalan, Kebenaran, serta Hidup (Yoh. 14:6).[3]
Calvinlah
yang mula-mula menyadari pentingnya membedakan tiga jabatan Kristus ini dan
memperhatikan serta membicarakan ketiga jabatan tersebut secara terpisah dalam Intitutio. Sebagai nabi Ia mewakili
Allah di hadapan manusia; sebagai imam Ia mewakili manusia di hadapan hadirat
Allah, dan sebagai raja Ia memerintah dan memperbaharui pemerintahan manusia. [4]
I.
YESUS SEBAGAI NABI
Pengertian
Alkitab tentang seorang nabi
Perjanjian Lama memakai
tiga kata untuk menunjuk nabi, yaitu nabhi,
ro’eh, dan chozeh. Arti
menyeluruh dari kata nabhi tidak
diketahui dengan pasti, tetapi terbukti dari ayat-ayat dari Kel. 7:1 dan Ul.
18:18 bahwa kata itu menunjukkan arti seseorang yang datang dengan sebuah
berita dari Allah kepada umatNya. Kata ro’eh
dan chozeh menekankan kenyataan
bahwa nabi adalah seseorang yang menerima wahyu dari Allah, terutama dalam
bentuk visi. Istilah lain yang dipakai ialah “manusia dari Allah”, “utusan
Allah” dan “pengawal”. Ini menunjukkan bahwa nabi adalah yang melayani Tuhan
secara khusus. Dalam Perjanjian Baru dipakai kata prophetes dan kata ini terdiri dari kata pro dan phemi, yang
berarti “mengatakannya langsung”.[5]
Dengan demikian nabi adalah
orang yang dipanggil untuk menjadi ‘mulut’ Allah, artinya: orang yang dipanggil
menjadi nabi itu dijadikan alat Allah untuk berfirman kepada umatNya (Kel.
4:16; bnd. Yer. 20:7-9).[6]
Pekerjaan nabi menurut J.Wesley Brill mempunyai dua bagian. Pertama, pekerjaan
nabi yaitu akan mengatakan kebenaran dan kehendak Allah. Kedua, ia akan
bernubuat yaitu memberitahukan apa-apa yang nanti terjadi. Dengan itu ia
menjadi penyelidik dan peninjau. Seorang nabi juga mempunyai pengertian atas
hal-hal yang sudah jadi, dan dapat melihat hal-hal yang tidak kelihatan bagi
orang-orang lain. Pekerjaan seorang nabi diterangkan dalam Keluaran 4:10-17.[7]
Kenabian
Kristus
Alkitab
menyaksikan melalui lebih dari satu cara jabatan kenabian Kristus. Ia telah
disebutkan lebih dahulu sebagai nabi dalam Ul. 18:15, sebuah ayat yang dipakai
untuk menunjuk Kristus dalam Kis. 3:22, 23. Ia sendiri menyebut diri-Nya nabi
dalam Luk.13:13. Lebih jauh lagi Ia mengklaim bahwa diriNya membawa pesan dari
Bapa-Nya, Yoh. 8:26-28; 12:49-50; 14:10,24; 15:15; 17:8,20; Ia menyatakan
hal-hal yang akan terjadi kemudian, Mat. 7:29. Karya-Nya yang agung menjadikan
pesan yang Ia sampaikan otentik. Berkenaan dengan semua ini tidaklah
mengherankan jika orang-orang mengenali Dia sebagai nabi, Mat 21:11,46; Luk.
7:16; 24:19; Yoh. 3:2; 4:19; 6:14; 7:40; 9:17.[8]
Calvin mengatakan, bahwa gelar “Kristus” tidak saja
ada hubungannya dengan salah satu dari ketiga jabatan itu, tetapi dengan
semuanya. Juga sebagai Nabi, Ia adalah “Kristus”. Itulah perbedaannya Ia dengan
nabi-nabi yang lain yaitu isi dari pemberitaanNya sebagai Nabi adalah Dia
sendiri dan pekerjaanNya. Sebab nubuat, yang diadakan Roh Kudus memberi kesaksian
tentang Yesus Kristus (Why. 19:10). Sejak dahulu dikatakan bahwa sedari kekal
Ia berjabatan Nabi; sebab sedari kekal Ia adalah Firman Allah (Yoh. 1:13; Ibr.
1:1-4).[9]
Kristus adalah Nabi yang sempurna.
Jabatan
Yesus sebagai nabi pun dipenuhi dengan mujizat-mujizat. Mujizat-mujizat Yesus
adalah bukti kasih-Nya sebagai imam, akan tetapi itupun adalah pemberitaanNya
sebagai Nabi, yakni bahwa kelak akan ada suatu dunia yang tidak akan terganggu
oleh kuasa Iblis, penyakit, dosa dan maut untuk selama-lamanya. Dengan
pengajaran dan perumpamaan-perumpamaanNya, mujizat-mujizat dan tanda-tandaNya,
Yesus menyatakan diri sebagai nabi.[10]
II.
YESUS SEBAGAI IMAM
Pengertian
Alkitab tentang seorang Imam
Kata
Perjanjian Lama untuk imam tanpa terkecuali adalah kohen. Satu-satunya pengecualian dijumpai dalam ayat-ayat yang
menyebutkan tentang imam-imam yang berzinah, 2 Raj. 23:5; Hos. 10:5; Zef. 1:4
di mana dipergunakan kata chemarim.
Arti mula-mula dari kohen tidak
diketahui dengan pasti. Bukan mustahil bahwa pada masa awalnya kata itu dapat
menunjukkan fungsi sipil maupun fungsi dalam peribadahan, bnd 1 Raj. 4:5; 2
Sam. 8:18; 20:26. Jelas bahwa kata itu selalu menunjukkan arti tentang
seseorang yang memegang jabatan yang mulia dan penuh tanggung jawab, dan
mempunyai otoritas atas orang-orang lain; dan hampir tanpa pengecualian imam
berarti petugas dalam peribadahan. Kata Perjanjian Baru untuk imam adalah hierus yang asalnya tampaknya berarti “ia yang perkasa”,
dan kemudian berarti “seseorang yang sakral”, “seorang yang mempersembahkan
diri kepada Tuhan”.[11]
Seorang
imam ialah pengantara, yaitu seorang yang berdoa kepada Allah bagi manusia yang
berdosa, Im. 4:16-18. Tidak berapa lama sesudah peristiwa air bah Nuh yang
besar itu, orang dipilih, diserahkan dan diasingkan untuk jabatan imam. Kepada
mereka itu diwajibkan mengadakan kurban karena dosa serta berdoa kepada Allah
untuk orang-orang berdosa yang tidak ada hak datang kepada Allah. Oleh sebabitu
imam harus mempersembahkan kurban darah karena dosa. Tetapi hak itu hanya
diberi kepada imam. Mereka menjadi pengantara antara Allah dan manusia, yang
oleh kurbannya dan doanya dosa diampuni. Maka akan ada pendamaian antara Allah
dan manusia. Itu jabatan imam dalam Perjanjian Lama.[12]
Keimaman
Kristus
Perjanjian Lama
menyatakan dan menyebutkan lebih dahulu tentang keimaman dari sang Penebus yang
akan datang. Ada acuan-acuan yang jelas tentang hal ini dalam Mzm. 110:4 dan
Za.6:13. Lebih jauh lagi keimaman Perjanjian Lama dengan jelas menggambarkan
keimaman sang Mesias. Dalam Perjanjian Baru hanya ada satu kitab saja di mana
Ia disebut sebagai Imam, yaitu Surat Ibrani, akan tetapi dalam surat ini
nama-Nya disebutkan berulang kali yaitu dalam 3:1; 4:14; 5:5; 6:20; 7:26; 8:1.[13]
Di dalam jabatanNya
sebagai Imam Tuhan Yesus bukan mempersembahkan korban dari darah binatang,
melainkan ia mengorbankan diriNya sendiri (Ibr. 10:10; 7:25). Dalam Ibr. 7
Kristus menjadi Imam Besar menurut peraturan Melkisedek, bukan yang Harun, Lewi
maupun Yehuda.[14] Keimaman Melkisedek
adalah lebih tua daripada keimaman Harun: Abraham menghormati Melkisedek
sebagai atasannya, jadi pastilah Melkisedek melebihi keturunan Abraham seperti
Lewi dan Harun. Keimaman Yesus menyerupai keimaman Melkisedek: tidak didasarkan
pada silsilah manusia dan tidak dapat dipindah-tangan-kan kepada orang lain,
sebab keimaman ini langsung berdasarkan pemilihan serta pemanggilan oleh Allah
(Ibr. 7:24).[15]
Jabatan Kristus sebagai
Imam pertama-tama mengandung arti, bahwa telah dilaksanakanNya pendamaian besar antara Allah dengan
dunia kita, satu kali untuk selama-lamanya, oleh korban yang satu itu di
Golgota. Oleh sebab itu Ia bukan saja digelari “Imam”, tetapi “Imam Besar”,
bahkan “Imam Mahabesar”, yang melebihi setiap imam lainnya (Ibr. 4:14).
Terutama surat kepada orang-orang Ibranilah yang mengemukakan pokok pemberitaan
ini yaitu “Kristus sebagai Imam Besar”.
III.
YESUS SEBAGAI RAJA
Pemberitaan
Alkitab tentang seorang Raja[16]
Pada
zaman Hakim-hakim, zaman yang penuh kekeruhan, ketika bangsa Israel meminta
kepada Gideon: “Biarlah engkau memerintah kami”, maka jawab Gideon: “Aku tidak
akan memerintah kamu dan juga anakku tidak akan memerintah kamu, tetapi TUHAN
yang akan memerintah kamu” (Hak. 8:22-23). Kemudian mereka meminta seorang raja
kepada Samuel. Bangsa Israel menolak Allah sebagai Raja karena mereka ingin
menyaingi bangsa-bangsa lainnya di dunia. Oleh karena mereka mendesak, Tuhan
memberi seorang raja yang sesuai dengan kehendak bangsa Israel, tetapi yang
kemudiannya tidak sesuai dengan hati Tuhan.
Saul
adalah raja yang dipilih Allah. Sejarah kerajaan Saul ialah sejarah penolakan
kerajaan Allah. Kemudian bangsa Israel memilih seorang yang sesuai dengan
hatiNya yaitu Daud. Kerajaan Daud adalah kerajaan teokrasi yakni kerajaan yang
melaksanakan kekuasaannya atas nama Allah. Namun pada masa pemerintahan sesudah
Daud, kerajaan teokrasi ini gagal. Mereka berbalik dan tidak setia kepada
Allah. Dan kadang-kadang kerajaan mereka menjadi suatu kerajaan yang bermusuhan
dengan Kerajaan Allah. Dan akhirnya orang Israel selalu merindukan Raja yang
sejati.
Kristus
sebagai Raja
Pada
waktu Yesus akan dilahirkan, malaikat Gabriel berkata kepada Maria, bahwa anak
Maria akan menjadi raja atas kaum keturunan Yakub sampai selama-lamanya, dan
bahwa KerajaanNya tidak akan berkesudahan (Luk. 1:32-33). Yesus adalah Raja
yang dijanjikan dan dinanti-nantikan bangsa Israel sebenarnya. Hal ini juga
mengingatkan kembali akan apa yang telah dinubuatkan dalam Dan. 7:14 yang
menyebutkan bahwa kekuasaan Mesias adalah kekuasaan yang kekal, yang tidak akan
lenyap, dan bahwa kerajaanNya ialah kerajaan kekal, yang tidak akan lenyap, dan
bahwa kerajaanNya ialah kerajaan yang tidak akan musnah. [17]
Yesus menyatakan diriNya sebagai Raja, misalnya dalam
mengusir kuasa-kuasa jahat (Luk. 4:36), dalam membersihkan Bait Allah di
Yerusalem (Mat. 21:12), di hadapan wakil pemerintah Pilatus (Yoh. 18:37) dan
terutama oleh kebangkitanNya serta kenaikanNya ke surga. Para murid dan
pengikutNya mengaku Dia sebagai sebagai Raja (Kis. 2:36; 17:7; 1 Kor. 15:25;
Ef. 1:20-22). KerajaanNya adalah kebenaran (keadilan) dan damai sejahtera dan
sukacita, ciptaan Roh Kudus (Rm. 14:17). Yesus Kristus memerintah dengan
perantaraan Firman dan Roh; kuasa pemerintahanNya adalah kuasa yang bersifat
rahmat.[18]
Jabatan
Kristus sebagai Raja Rohani adalah pemerintahan kerajaanNya atas regnum gratiae, yaitu atas umatNya atau
GerejaNya. Kedudukan itu adalah kuasa sebagai pengantara yang ditetapkan di
hati setiap orang percaya. Lebih jauh lagi, keadaan sebagai Raja ini bersifat
rohaniah, sebab keadaan ini secara langsung mengandung maksud rohani dan tujuan
akhir yang bersifat rohani, yaitu keselamatan atas umatNya. Dan akhirnya,
keadaan sebagai raja ini juga bersifat rohani sebab dilaksanakan bukan dengan
kekuatan dari luar tetapi oleh Firman Roh, yaitu Roh Kebenaran dan hikmat,
keadilan dan kesucian, anugerah dan kasih setia. [19]
Kewajiban Raja adalah memerintah, melindungi dan
memelihara rakyatNya. Untuk melindungi umatNya Kristus telah berperang dengan
kerajaan gelap, hingga menang. Oleh karena itu maka barangsiapa menjadi
milikNya, ia adalah orang yang benar-benar merdeka (Yoh. 8:36; Gal. 5:1), yang
dimerdekakan dari dosa dan maut. Bagi umatNya, Kristus juga menjadi Kepalanya,
yang memerintah serta memeliharanya.[20]
IV.
KESIMPULAN
Jadi Tuhan Yesus Kristus memiliki tiga
macam jabatan, yaitu jabatan Nabi, Imam dan Raja. Ketiga jabatan ini tidak
dapat dipisahkan yang satu daripada yang lain. Sebab ketiga jabatan ini
sebenarnya mewujudkan jabatan satu. Keadaan Tuhan Yesus memang berlainan sekali
dengan orang-orang yang memangku jabatan di
tengah-tengah Israel. Di tengah-tengah Israel tiap jabatan hanya boleh dipangku
oleh satu orang saja. Bahkan ada jabatan yang tidak boleh sama sekali
dirangkap, yaitu jabatan raja dan imam. Apa yang dipisah-pisahkan di dalam
Perjanjian Lama dipersatukan di dalam diri Tuhan Yesus Kristus.
Jikalau Tuhan Yesus mengajar, umpamanya,
hal itu bukan dilakukanNya hanya sebagai Nabi
semata-mata, melainkan Ia mengajar juga sebagai Imam dan Raja. Pada waktu Ia
diadili oleh Pontius Pilatus, artinya: ketika Ia siap untuk mengorbankan diriNya
sebagai Imam yang berkorban, Ia mengakui, bahwa Ia adalah Raja, dan di situ
juga Ia menyaksikan hal kebenaran yaitu Nabi
(Yoh. 18:33,36,37). Jadi ketiga jabatan itu dilaksanakan bersamaan. Ia
disalibkan, bukan hanya sebagai Imam yang berkorban, tetapi juga sebagai Raja
dan sebagai Nabi yang bersaksi tentang karya Tuhan Allah (Yoh. 18:19-22).
Jikalau Ia melakukan mujizat, hal itu bukan hanya dilakukan dalam jabatanNya
sebagai Raja yang berkuasa, tetapi juga dalam jabatanNya sebagai Imam yang
menaruh belas kasihan dan sebagai Nabi yang memberitakan kehendak Allah, dengan
perantaraan mujizat itu. Itulah sebabnya maka mujizat Tuhan Yesus disebut tanda, dengannya Ia menyatakan
kemuliaanNya (Yoh. 2:11, dll).[21]
Yesus adalah Raja yang
berkuasa dan memerintah seluruh alam semesta dan segala isisnya, namun Ia juga
adalah Imam yang melayani dan mempersembahkan DiriNya sebagai korban untuk
menyelamatkan manusia dari maut, dan Ia pun yang adalah Raja dan Imam juga
seorang Nabi yang berkuasa, melayani, dan bersaksi akan kedaulatan dan
kekuasaan Allah di dunia ini.
DAFTAR
PUSTAKA
Berkhof, Louis., Teologi Sistematika 3, (Surabaya:
Momentum, 2004)
Brill, J.Wesley., Dasar Jang Teguh, (Bandung: Kemah Indjil
Geredja Masehi, 1953)
Hadiwijono, Harun.,
Iman Kristen, (Jakarta: BPK Gunung
Mulia, 2015)
Niftrik, Dr.G.C.Van,
dan Dr.B.J.Boland, Dogmatika Masa Kini, (Jakarta:
BPK Gunung Mulia, 1981)
Verkuyl, Dr.J., Aku Percaya, (Jakarta: BPK Gunung Mulia,
1995)
[1] Harun Hadiwijono, Iman Kristen,
(Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2015), 322-323.
[2] Dr.J.Verkuyl, Aku Percaya,
(Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1995), 130-131.
[3] Dr.G.C.Van Niftrik dan Dr.B.J.Boland, Dogmatika Masa Kini, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1981), 323.
[4] Louis Berkhof, Teologi
Sistematika 3, (Surabaya: Momentum, 2004), 123.
[5] Ibid, 127.
[6] Harun Hadiwijono, 324.
[7] J.Wesley Brill, Dasar Jang
Teguh, (Bandung: Kemah Indjil Geredja Masehi, 1953), 107-108.
[8] Louis Berkhof, 130.
[10] Dr.J.Verkuyl, 135.
[11] Louis Berkhof, 133-134.
[12] J.Wesley Brill, 109.
[13] Louis Berkhof, 135.
[14] Harun Hadiwijono, 326.
[15] Dr.G.C.Van Niftrik dan Dr.B.J.Boland, 331.
[16] Dr.J.Verkuyl, 142-143.
[17] Harun Hadiwijono, 326.
[18] Dr.G.C.Van Niftrik dan Dr.B.J.Boland, 332.
[19] Louis Berkhof, 234.
[20] Harun Hadiwijono, 326-327.
[21] Harun Hadiwijono, 324.
Terimakasih. Saya izin Copy yah. Tuhan memberkati
BalasHapus