Oleh karena adanya penemuan penanggalan osuarium, maka
siapa penulis surat Yakobus ini kembali dipertanyakan oleh para ahli. Ada yang
meyakini bahwa Yakobus saudara Yesuslah yang menulis surat Yakobus dan ada yang
meyakini bahwa kitab tersebut pseudonymous (menggunakan nama samaran). Namun,
hal tersebut di dalam pendahuluan tersebut tidak akan menjadi sorotan utama
penulis buku, melainkan memulainya dengan melihat ke arah mana pembahasan dalam
kitab tersebut, dengan keyakinan bahwa kitab tersebut asli dan awal.
Konten
Keyakinan bahwa Yakobus sebagai pemimpin gereja
mula-mula yakni Yerusalem, menjadi nyata setelah melihat konfirmasi penulis
Yakobus bahwa surat tersebut ditujukan kepada “kedua belas suku di perantauan”
(Yak. 1:1). Paulus menuliskan bahwa Yakobus adalah salah satu penatua dalam
jemaat di Yerusalem (Gal. 1:19; 2:9). Namun, ia juga menuliskan bahwa “saudara
Yakobus” mendatangi komunitas Kristen di Antiokia (Gal. 2:12). Penulis Kisah
Para Rasul tidak menghubungkan “yang datang dari Yudea” ke Antiokia (Kis. 15:1)
bersama Yakobus, namun dalam tulisannya ia menggambarkan beberapa peran Yakobus
dalam jemaat di Yerusalem (Kis. 15:21; 23-29; 12:17; 15:5). Dengan melihat
adanya peristiwa perpindahan Antiokia dan Yerusalem, Kisah Para Rasul
melukiskan Yakobus bukanlah lawan Paulus, namun merupakan mediator antara
Paulus dan penentangnya.
Hubungan Antara
Paulus dan Yakobus
Terkait hubungan/keterkaitan antara Yakobus dan
Paulus, Johnson mengangkat satu pandangan ahli, yakni J.B Mayor. Mayor melihat
bahwa jika surat Yakobus diyakini sebagai yang awal bagi jemaat Kristen, maka
lebih tepat diasumsikan bahwa Pauluslah yang merespons tulisan Yakobus,
daripada Yakobus yang menanggapi Paulus. Bagaimanapun, Paulus dalam suratnya
menuliskan bahwa Yakobus adalah pelayan Tuhan yang memiliki peran penting,
misalnya dalam kasus Barnabas dan Kefas. Dapat dicurigai mungkin saja ketika
Paulus melihat surat yang dikirimkan Yakobus kepada “jemaat berada di
perantauan” menekankan perbuatan dan iman, Paulus melihat hal tersebut sifatnya
terlalu menantang. Namun, Johnson tidak sepenuhnya sependapat dengan Mayor,
karena menurut Johnson untuk dapat meninjau lebih jauh seperti apa keterkaitan
antara Paulus dan Yakobus, maka dapat dilihat melalui konteks yang dihadapi
kedua tokoh ini yang adalah berbeda-beda. Paulus menulis
kepada banyak komunitas dan individu yang ditunjuk secara khusus, sementara Yakobus berbicara kepada pembaca umum. Paulus menuliskan kepada jemaat yang
Kristen non-Yahudi atau campuran yang ia bentuk, sementara Yakobus menuliskan
surat kepada jemaat Kristen Yahudi. Paulus menuliskan sesuai dengan konteks
atau permasalahan atau pergumulan yang terjadi pada jemaat tertentu secara
spesifik, sementara Yakobus tampaknya tidak memiliki krisis spesifik dalam
pandangannya.
Yakobus dan Paulus adalah dua tokoh yang dikenali
dalam tradisi Yunani-Romawi, meskipun seringkali banyak yang melihat kedua
tokoh ini sepertinya bertentangan, namun yang pasti mereka setuju dengan semua
pengajaran bahwa identitas sebagai orang percaya harus diterjemahkan pula dalam
perilaku dan hidup yang bermoral baik. Perbedaannya, Yakobus menggunakan
“pekerjaan” (ergon) sebagai sebuah efek atau tindakan dalam 1:4 dan 3:13 dan
menghubungkannya dengan “perbuatan” dari iman (1:25; 2:14, 17-18, 20, 21, 22,
24, 25, 26). Yakobus tidak pernah menghubungkan istilah perbuatan atau
pekerjaan dengan “taurat” (nomos). Dan tidak dapat dipungkiri, Paulus sendiri
dalam suratnya juga seringkali memberi penekanan kepada “perbuatan” (Band. Rm.
13:3; 1:20; 15:18; 1 Kor. 3:13-15; 9:1; 15:58; 1 Tes.1:3). Bahkan ia menuliskan
“karya imanmu” (1 Tes. 1:3). Dengan kata lain, perdebatan terkait perbedaan
yang ada dalam tulisan Yakobus dan Paulus hadir karena pembaca tidak terlebih
dahulu mengetahui konteks dari masing-masing penulis. Perbedaan penekanan yang
diberikan oleh Yakobus dan Paulus sangat dipengaruhi oleh situasi mereka dan
pembaca yang mereka hadapi/gumuli.
Hubungan antara Yakobus dan Paulus adalah pembahasan
yang cukup menarik dalam kalangan para penafsir. Analisis tentang persamaan dan
perbedaan di antara mereka telah mendominasi dan mengubah banyak studi tentang
Yakobus, terutama sejak masa reformasi. Martin Luther bersikeras bahwa ajaran
keduanya, terutama dalam ajaran iman dan keselamatan, adalah bertentangan. Oleh
karena itu, penulis buku menyarankan pendekatan yang lebih baik untuk melakukan
perbandingan terhadap kedua tokoh tersebut ialah dengan mengenali sastra dan
sentralisasi kedua tokoh tersebut. Di sisi lain, Paulus dan Yakobus memiliki
kemiripan gaya karena menggunakan prosa Yunani-Romawi. Keduanya menggunakan
Abraham sebagai contoh dan contoh, namun perbedaannya terdapat dalam arah
fokus/tujuan dari penggunaan tokoh Abraham tersebut. Tidak ada dalam Yakobus yang dapat ditafsirkan
sebagai bagian dari “keyahudian”, terutama yang diarahkan terhadap Paulus.
Yakobus dan
Helenistik
Dalam studi Yudaisme pada beberapa dekade terakhir,
telah diakui bahwa budaya helenistik secara menyeluruh menyerap Yudaisme, baik
yang berada di Diaspora maupun Palestina. Jika benar, asal usul Yakobus
diyakini berasal dari Yerusalem dan hidup sebelum tahun 62, maka dapat diyakini
pada masa hidup Yakobus, ia telah banyak berjumpa dengan pengaruh dari tradisi
Helenistik. Di dalam surat Yakobus banyak dimensi Helenistik di dalamnya (band.
3:6-7; 1:2-3; 1:24; 2:4, 20; 4:14, dll). Dapat dipastikan bahwa surat Yakobus
bukanlah kitab terjemahan, melainkan memang dari mulanya berbahasa Yunani.
Selain itu, untuk dapat meninjau lebih jauh dalam
menjawab pertanyaan siapa sebenarnya penulis surat ini, maka pendekatan yang
jauh lebih baik adalah memberi perhatian lebih dekat kepada bentuk literatur
surat ini. Salah satunya ialah jenis retorika dari dunia Helenistis yang banyak
ditemukan dalam surat Yakobus ini. Selain itu, hampir semua kosakata dalam
Yakobus ditemukan juga dalam Septuaginta, dan beberapa konstruksi semitnya
hanya akan masuk akal untuk pembaca dalam bahasa Yunani yang akrab dengan
penggunaannya dalam Septuaginta. Ketika Yakobus mengutip kata “semua hukum”
harus dijaga, maka tidak ada indikasi bahwa ia mengadvokasi “keyahudian”
apapun. Melainkan apa yang Yakobus pahami tentang semua hukum adalah “mengasihi
sesama manusia” menurut Kitab Suci (2:8) dengan bimbingan aplikatif moral dalam
Imamat. Singkatnya, Yakobus secara khusus memadukan bahasa moralisme
Yunani-Romawi dan bahasa Kitab Suci. Selain itu, banyak pula istilah-istilah
yang Yakobus gunakan dapat ditemukan dalam literatur Yahudi lainnya.
Perspektif moral
dan agama dalam Yakobus
Pusat tematis Yakobus terdapat dalam dualisme antara
moral dan agama. Yakobus membandingkan Tuhan (theos) dan dunia (kosmos) sebagai
objek komitmen manusia (“persahabatan”) dan mengatakan bahwa manusia harus
memilih antara keduanya. Jika perjanjian dengan Allah sama seperti pernikahan, maka
melanggar perjanjian adalah seperti perzinahan (lihat Hos 3: 1; Yeh. 16:38;
23:45; Yes 57: 3; Yer 3: 9; 13:27). Jadi Yakobus menganggap orang Kristen yang
berpikiran ganda sebagai mereka yang mengaku hidup menurut standar “iman Yesus”
tetapi setiap hari mengadopsi nilai dan perilaku orang luar,
dan hidup di dalam “perzinahan rohani.”
Oleh karena itu, argumen terbaik untuk menanggalkan Yakobus sebagai
yang terakhir dan bersifat pseudonym dan bukan awal dan otentik oleh Yakobus
dari Yerusalem (saudara Yesus) adalah bahasa Yunani dan ketergantungannya pada
ajaran Paulus tentang kebenaran melalui iman.
Awal Mula
Diterimanya Surat Yakobus
Origenes adalah yang pertama mengutip Yakobus sebagai
kitab Suci setelah Clement. Terdapat kesulitan untuk menerima surat ini sebagai
sebuah kitab, yakni cara penulisan kitab tersebut menggunakan sumber-sumber
terkemudian. Hanya kutipan PL yang diperlihatkan dengan jelas, meski “tulisan
suci” lainnya disinggung secara eksplisit. Kesulitan kedua, oleh karena isi
daripada kitab/surat itu sendiri yakni bukti bahwa Yakobus adalah surat yang
berisi nasehat moral (paraenesis) yang menggunakan tradisi moral Yunani dan
Yahudi. Namun, Johnson berusaha melihat kemungkinan-kemungkinan yang telah
diakui yang membuat surat Yakobus diterima sebagai sebuah kitab, yakni melihat
kesamaan-kesamaan yang terdapat antara Perjanjian Baru dengan T12P, 1 Clement,
dan Hermas.
Kitab Yakobus dalam gereja Aleksandria banyak
digunakan setelah pengkanonan yang dipengaruhi Origen. Selain Aleksandria,
gereja-gereja di Palestina terutama Yerusalem pun sama halnya. Karena menurut
pandangan tradisi, Yakobus saudara Yesus adalah uskup pertama dari gereja
Yerusalem. Namun, di samping itu terdapat pula gereja-gereja yang menolak dan
bahkan tidak mendaftarkan Yakobus dalam kanonnya. Salah satu penyebabnya ialah
Gereja di Aleksandria yang memiliki banyak penentang.
Kitab Yakobus sendiri seringkali digunakan dalam
pembacaan alegoris dari teks Perjanjian Lama. Selain itu, kesulitan dalam
memahami tulisan Yakobus juga terjadi, salah satunya dalam 1:2. Namun,
kesulitan ini cenderung terjadi dalam terjemahan bahasa Inggris. Hal tersebut
tidak terlalu sulit dipahami bagi mereka yang berbahasa Yunani, oleh karena
istilah “pencobaan” yang digunakan Yakobus memiliki dua makna yakni “ujian” dan
“godaan”. Sama halnya dengan teks-teks lain, akan menjadi lebih jelas jika
dimaknai sesuai dengan bahasa dan konteks aslinya. Oleh karena itu, Johnson
berusaha melihat teks-teks yang cukup menjadi perhatian dalam perdebatan para
pembaca dengan penafsiran yang berdasarkan konteks yang dihadapi dan digumuli
Yakobus atau penulis surat Yakobus ini, misalnya bahasan tentang “perbuatan dan
iman” (2:20-26) dan “setiap pemberian yang baik dan sempurna” (1:17).
Meskipun Yakobus cukup awal dikenal dan digunakan di
gereja Yunani di Timur, Yakobus lantaran tidak cepat dikenal di Barat. Namun
perjalanan kitab Yakobus pada akhirnya diterima dan diakui di Barat cukup
kompleks dan panjang. Di timur Origen adalah yang antusias mengusahakan surat
Yakobus (185-254), dan keseluruhan tradisi Aleksandria setelahnya meyakinkan
bahwa kanonisasi setidaknya berada pada masa Kerajaan berbahasa Yunani. Clement
adalah penulis Aleksandria pertama yang mempunyai bukti substantial (kira-kira
150-215), meskipun di samping banyak anggapan yang beragam tentang tulisan
Clement. Di luar gereja di Roma, penggunaan ‘Yakobus’ yang paling awal adalah
kutipan dalam Yak. 1:17 oleh Hilary of Poitiers (356-358) yang adalah pengagum
Origenes. Sempat menghilang dari kanon di dalam berbagai tempat, secara
tiba-tiba dalam periode dua dekade terkemudian, Yakobus muncul di Barat.
Athanasius menerbitkan suratnya dengan daftar kanonik di tahun 367 dan Yakobus
terdapat di dalamnya. Ini merupakan titik awal surat Yakobus pada akhirnya
ditetapkan menjadi salah satu bagian dari kanon yang diakui di gereja Barat.
Selain itu, diindikasikan pula bahwa sebelum abad ke-2, surat Yakobus sudah
memiliki peran dalam gereja Roma. Penerimaan surat Yakobus sebagai salah satu
kanon gereja di Barat tak lepas dari peran ketiga tokoh berikut yakni: Rufinus
(345-410), ia adalah salah seorang murid Origen yang juga menulis catatannya
tentang Yakobus. St. Jerome (342-420) ia adalah sekretaris Paus Damasus yang
memasukkan Yakobus di antara tulisan-tulisan PB, dan menerjemahkannya dalam
bahasa Latin. Kemudian, Augustine dari Hippo (354-430), ia juga salah seorang
pengagum Origenes, dan dalam surat-suratnya ia secara antusias mengakui surat
Yakobus sebagai Kitab Suci.
Dunia Sosial Kitab
Yakobus
Konteks sosial yang dihadapi penulis surat Yakobus
ditentukan oleh siapa penulis kitab Yakobus sebenarnya. (1) Pandangan tradisi
bahwa Yakobus saudara Yesus: jika diambil kesimpulan konteks penulis dan
pembaca berdasarkan pandangan tradisi ini, maka tidak sedikit ditemukan
ketidakcocokan dengan isi teks Yakobus, baik dalam jenis sastra maupun
keterangan-keterangan yang belum cukup untuk menggambarkan situasi pembaca
sebenarnya. Penolakan terhadap pandangan tradisional ini berdasarkan dari
konflik yang ada dalam “Sejarah Yakobus” yang diketahui dari sumber-sumber lain
dan bukti dari dalam surat itu sendiri yang tidak cukup mengindikasikan
ketepatan pandangan tradisional. (2) Tulisan Pseudonim dan Ide sejarah:
memutuskan bahwa kepenulisan surat ini bersifat pseudonim, maka membuat
pencarian akan konteks sosialnya semakin lebih mudah, karena hal tersebut
cenderung menempatkan Yakobus tidak berada dalam konteks sosial tertentu,
melainkan dalam perkembangan ide-ide yang sementara. Namun, dengan kata lain
untuk dapat memahami konteks sosial Yakobus, maka Paulus menjadi kunci
utamanya. Oleh karena, Paulus lebih awal daripada Yakobus, terutama dalam
pembahasan tentang “orang kaya dan miskin” dan “iman dan perbuatan”. (3)
Konteks sosial diketahui melalui jenis sastra: M.Dibelius adalah pelopornya.
Menurutnya, Yakobus merupakan kumpulan tradisi kebijaksanaan yang relatif dan
tidak terstruktur serta tanpa acuan yang khusus pada waktu atau tempat
tertentu. Sementara Perdue, meyakini bahwa surat Yakobus adalah surat yang
bersifat paraenesis. Johnson menyimpulkan bahwa Yakobus bukan sekadar ringkasan
tema kebijaksanaan atau sejenis paraenesis yang mengambang bebas, tetapi
nasehat yang jelas yang muncul dari dan ditujukan kepada manusia yang nyata
dalam lingkungan sosial tertentu. Isi surat cukup menegaskan bahwa konteks
sosial surat ini adalah apa yang dihadapi oleh seorang pemimpin gereja
Yerusalem dan seorang mesianis Yahudi dari diaspora selama dekade pertama
gerakan Kekristenan.
Penggunaan Imamat
19 dalam Yakobus
Johnson melihat bahwa dalam kepenulisan surat Yakobus,
kitab Imamat 19 memiliki peran yang besar. Di dalam suratnya, penulis Yakobus
banyak mengidentifikasi beberapa kata-kata dan kalimat-kalimat khiasan tematik
dalam Imamat 19, serta memperlihatkan bagaimana perintah kasih dalam 19:18b
dimaksudkan dan dimaknai dalam surat Yakobus.
Penggunaan
Ucapan-ucapan Yesus dalam Yakobus
Selain itu, lebih dari dua abad terakhir, beberapa
ahli melihat bahwa Yakobus dalam suratnya banyak menggunakan tradisi dari
perkataan Yesus. Penulis dalam esainya hanya berfokus terhadap enam perkataan:
empat yang Deppe (seorang ahli yang meneliti studi ini) sebut “sindiran sadar”
(Yak. 5:12; 1:5 dan 4:2c-3; 2:5) dan dua lainnya di luar “sindiran sadar” (Yak.
2:8 dan 13). Pertama, Yakobus 5:12
paralel dengan Matius 5:34-37. Johnson sepakat dengan hipotesis yang melihat
kemungkinan besar Yak. 5:12 adalah sumber yang independen untuk pelarangan akan
sumpah yang dikaitkan dengan perkataan Yesus dalam Mat. 5:43-37. Ia juga
melihat bahwa Yakobus mencerminkan tradisi sebelumnya daripada yang ada pada
masa Matius. Dengan kata lain, besar kemungkinan keduanya memiliki sumber yang
sama. Kedua, Yakobus 1:5 dan 4:2c-3
paralel dengan Matius 7:7, 11 = Luk. 11:9, 13. Ketiga, Yakobus 2:5 memperlihatkan adanya pengadaptasian dari
ucapan bahagia Yesus (Mat. 5:3 = Luk. 6:20b) dan menghubungkannya dengan tujuan
persuasifnya. Namun, penafsiran akan ayat tersebut juga beragam. Keempat, Yakobus 2:8 selain di kaitkan
dengan Imamat 19, ahli lainnya melihat ayat ini juga paralel dengan Matius
22:39; Mark. 12:31; Luk. 10:27. Kelima, Yakobus 2:13 konvensional dalam
ajaran Yahudi dan literatur-literatur dari para nabi kepada para rabbi (Sir.
29:1; Tob. 4:10-11). Selain itu, paralel pula dengan QM 5:7 = QL
6:36 sebagai sebuah ucapan Yesus yang memberikan karakter konvensional antara
Yudaisme dengan Kekristenan awal (1 Clement 13:1-12). Kutipan-kutipan yang
dimiliki Yakobus, beberapa ahli memiliki pendapat yang berbeda-beda tergantung
kepada siapa keberpihakan mereka terhadap penulis surat ini. Namun,
digunakannya perkataan-perkataan atau tradisi Yesus dalam surat Yakobus besar
kemungkinan terjadi sebelum komposisi dari Injil Sinoptik, atau paling tidak
sebelum pengajaran Yesus (Injil) ditetapkan menjadi standar.
Diam dan agama
yang benar: Yakobus 1:26-27
Tradisi hikmat kuno meyakini bahwa orang yang
dikatakan bijak adalah mereka yang diam dan menahan ucapannya. Hal tersebut
sering pula digemakan dalam literatur Perjanjian Lama (LXX), ajaran moralis
Helenistik, dan lainnya.
Dalam dunia Helenistik, “diam” dan “berbicara”
memiliki bentuk pemaknaan yang khas. Demetrius (pakar Yunani)
mengualifikasikannya menjadi, (a) kalimat pendek namun bermakna jauh lebih baik
daripada panjang namun berlebihan dan melumpuhkan makna kalimat; (b) seorang
pemikir akan menaruh banyak pemikiran di dalam ruang kecil atau kalimat yang
tidak bertele-tele; (c) ringkasnya kalimat berguna untuk simbolisme yang memaksa
pendengar/pembaca untuk melakukan penafsirannya sendiri. Ucapan harus
didasarkan pada pengendalian diri karena menurut Demetrius, kata adalah “citra
jiwa seseorang” yang memungkinkan pembaca untuk “melihat karakter sang
penulis”. Seneca pun berpendapat bahwa ucapan harus dikontrol. Oleh karena itu,
diam dibutuhkan untuk mempelajari banyak hal agar menjadi bijak. Diam merupakan
perlindungan dari kesalahan-kesalahan. Kurangnya pengendalian diri adalah
sebuah kesalahan.
Banyak kajian etika Helenistik ditemukan juga dalam
Yakobus. Yakobus menekankan pentingnya mendengar, dan menahan ucapan (3:1).
Namun Yakobus jauh lebih mendalam, ia bahkan memberi penekanan bahwa lidah pun
berpotensi berbuat kejahatan/dosa (1:26). Kemudian ia menambahkan bahwa agama
dan etika tidak dapat dipisahkan. Demikianlah, hidup keagamaan yang benar harus
diwujudkan dalam sikap hidup yang benar (1:27)
Metafora Cermin
(Yakobus 1:22-25)
Pada masa itu cermin terbuat dari logam yang dipoles.
Cermin dapat dijadikan sebagai sebuah metafora untuk memberi gambaran terhadap
sesuatu. Yakobus menggunakan metafora cermin untuk menggambarkan sikap moral
yang seringkali dimiliki oleh manusia. Gambar dalam cermin sebenarnya menipu
dan mengarah pada ilusi. Gambar dalam cermin tidak permanen, dan menggambarkan
sesuatu yang sementara. Cermin tidak boleh hanya digunakan untuk hiasan, tetapi
juga alat untuk perbaikan diri. Seneca mengatakan “cermin diciptakan agar
manusia dapat mengenal dirinya sendiri”. Cermin berfungsi sebagai metafora
untuk peningkatan moral diri. Yakobus melihat bahwa semestinya ada kontras
antara ucapan dan tindakan sebagai tanda kemajuan moral dan cermin dalam
kehidupan seseorang. Sikap hidup yang baik akan memperlihatkan cerminan hidup
yang baik pula. Johnson meninjau tiga kisah hidup tokoh Alkitab yang menjadi
figur hidup untuk menggambarkan sebuah cerminan hidup, yakni bagaimana iman
yang “disempurnakan” oleh tindakan yang nyata, yaitu Abraham dan Rahab
(2:20-26), Ayub (5:10-11), dan Elia (5:16-18).
“Persahabatan
Dengan Dunia” atau “Persahabatan Dengan Allah”
Johnson berusaha melihat seperti apa identitas Kristen
di dalam surat Yakobus, terutama pembahasan sekitaran “persahabatan dengan
dunia” dan “persahabatan dengan Allah”. Pepatah “Persahabatan dengan dunia
adalah Permusushan dengan Tuhan” tidak ditemukan di dalam semua literatur
Helenistik maupun teks-teks Hikmat Perjanjian Lama, bahkan dalam literatur
Yahudi Helenistik. Namun, jika diperhatikan maka Yakobus 4:4 terlihat paralel
dengan 1 Yohanes 2:15-17. Namun, tidak dapat dipastikan seperti apa keterkaitan
antara surat Yohanes dan Yakobus. Kemungkinan yang dapat diberikan ialah antara
penulis surat Yohanes dan Yakobus secara independen memiliki tradisi bersama
(yang asalnya tidak dapat/belum diketahui).
Johnson memaparkan beragam pemaknaan dari kata “dunia”
dan “persahabatan”. Kata “dunia” tiga kali disebutkan penulis surat selain
dalam Yak. 4:4, yakni dalam 3:6 ia menggunakannya sebagai metafora sehingga
tidak terlalu mudah untuk dipahami, dalam 2:5 kata “dunia” digunakan untuk
menjadi ukuran pembedaan dengan Kerajaan Allah, dan dalam 1:27 kata “dunia”
digunakan dengan tegas sebagai standar untuk membedakan kehidupan yang Allah kehendaki
dengan yang tidak Allah kehendaki. Dengan kata lain, kata “dunia” bukanlah
mengacu kepada dunia ciptaan Allah, melainkan kepada hidup yang tidak
menempatkan keberadaan Allah. Selain itu, kata “Persahabatan” dimaknai bukan
hanya kedekatan secara badaniah, tetapi juga secara spiritual. Dalam Orestes “sahabat” disebut dengan “satu
jiwa”, yang berarti memiliki perasaan dan pemikiran serta tujuan yang sama.
Lebih jauh lagi, penulis buku mengatakan bahwa “Fellowship (koinonia) was friendship, because “friendship is
equality””. Abraham merupakan salah satu figur yang dipakai oleh Yakobus untuk
menggambarkan bagaimana “persahabatan dengan Tuhan”. Ketaatan Abraham kepada
Tuhan, menjadikan ia seorang sahabat bagi Tuhan. Iman yang ia wujudkan melalui
tindakan membuat ia menerima pembenaran dari Allah, dan bahkan menjadikannya
sahabat Allah. Abraham menunjukkan sikap sebagai sahabat terhadap Tuhan.
Demikian pula, seringkali manusia diperhadapkan dengan kedua hal ini, dan
apabila seseorang memiliki kedua hal ini di dalam dirinya maka mereka tidaklah
benar-benar hidup sebagai “pelaku” firman Allah.
Gender Surat
Yakobus
Dalam melihat jenis dari surat Yakobus ini, maka Johnson
menyarankan tiga pendekatan, yakni pertama-tama melihat bahasa dan peran yang
secara eksplisit memiliki jenis; kedua, pada gambaran seksualnya, dan; ketiga,
pada implikasi isi surat Yakobus dibandingkan dengan tulisan-tulisan hikmat
lainnya. Pada pendekatan pertama dan kedua dapat disimpulkan bahwa jenis bahasa
yang dimiliki Yakobus adalah androsentrik, meskipun komposisi yang diberikan
memiliki hasil yang tidak begitu jelas. Dengan kata lain, Johnson menganggap
isu-isu gender dalam kepenulisan surat Yakobus juga diungkapkan. Ia mengangkat
penggunaan jenis kata maskulin dan feminis dalam surat Yakobus serta
pemaknaannya sesuai dengan situasi kepenulisan surat tersebut.
Penutup
Yakobus dan
Teologi
Mengingat di dalam dunia teologi, surat Yakobus sulit
untuk mendapatkan penghargaan dari berbagai penafsir dan tokoh sejarawan
gereja, maka tidak mudah untuk segera mengaitkan teologi Yakobus dengan teologi
Kristen. Terutama pada masa reformasi Luther yang di mana ia melihat bahwa
Yakobus tidaklah pantas untuk dijadikan salah satu bagian dari Kitab Suci.
Tidak sedikit orang yang pada akhirnya menyetujui anggapan Luther tersebut.
Namun setelah menerima pengakuan sebagai salah satu kitab yang berwibawa,
Yakobus kini bebas secara teologis berbicara kepada seluruh umat dengan
sendirinya, bahkan sampai masa kini. Yakobus merupakan kitab yang sampai saat
ini masih diakui keabsahannya sebagai kitab suci. Yakobus adalah kitab yang
berpusat kepada Allah dan Kristus serta Roh Kudus. Namun, penggambaran yang ia
gunakan untuk Tuhan tidaklah mudah untuk segera dipahami. Pemahamannya tentang
Tuhan jauh melampaui penegasan monoteisme sederhana (2:19; 5:4; 1:13, 17, 20,
dan lainnya). Kekhasan lainnya dalam kitab Yakobus ialah penggambarannya yang
tidak sederhana tentang relasi antara dunia dan Tuhan. Ia sering menggunakan
metafora-metafora yang sarat akan makna, sehingga menuntut penafsiran yang
tidak dangkal. Selain itu, dua aspek teologis Yakobus yang khas ialah cara
Yakobus mendasarkan perilaku moral yang berakar dalam Yesus Kristus lebih utama
daripada pengalaman-pengalaman batin yang tidak terlihat, dan bagaimana caranya
teologi harus selalu dikaitkan dengan pengajaran moral.
Johnson menarik tiga refleksi teologis dari kitab
Yakobus untuk gereja di dunia kontemporer, yakni: (a) gereja dituntut untuk
berintegritas dalam berbicara. Bahasa memiliki kekuatan yang luar biasa, di
dalamnya terungkap sebuah “kebenaran” dan “kesalahan”. Bahkan Allah sendiri
menciptakan dunia hanya dengan “ucapan-Nya”. Melalui ucapan maka kebenaran
firman Tuhan dapat tersebar. (b) Iri hati dan arogansi merupakan salah satu
sumber konflik manusia. Jikalau manusia memilih untuk menjalin “persahabatan
dengan dunia” maka kedua hal ini sepenuhnya akan menjadi ukuran tindakannya.
Namun jikalau manusia memilih menjalin “persahabatan dengan Tuhan” maka dalam
hidupnya akan selalu mencari apa yang menjadi “pikiran Kristus”. Dan (3)
solidaritas dalam komunitas atau persekutuan sangat diperlukan dalam kehidupan
bersama umat Allah (2:2, 8 dan 5:14). Sikap saling menguatkan, menolong, dan
menghibur dalam kehidupan bersama menjadi salah satu perintah yang Allah
inginkan untuk manusia lakukan. Dengan kata lain, Yakobus menantang kehidupan
seorang Kristen untuk berintegritas dalam pemikiran, ucapan dan tindakan.
Selain itu, menantang gereja untuk menyadari bahwa kehidupan komunalnya
merupakan hidup yang harus dijalani dalam solidaritas yang sejati di dalam
Tuhan.
Evaluasi
Menurut
Pelapor, Johnson memaparkan esainya dengan memakai bukti-bukti yang cukup
akurat. Selain memakai sumber-sumber, ia juga melihat kepada sejarah. Namun, di
dalam esainya, Johnson cenderung lebih mendominasi dalam menggunakan
bukti-bukti yang mendukung pendapatnya. Terlebih, dalam usaha untuk menyelidiki
siapa penulis kitab Yakobus ini. Selain itu, pemaparan esai milik Johnson ini
cukup menarik, dan melaluinya pelapor banyak menerima pengetahuan-pengetahuan
baru.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar