Senin, 07 Mei 2018

Book Review: Luke Timothy Johnson, Brother Of Jesus, Friend Of God: Studies In The Letter Of James

Pendahuluan
Oleh karena adanya penemuan penanggalan osuarium, maka siapa penulis surat Yakobus ini kembali dipertanyakan oleh para ahli. Ada yang meyakini bahwa Yakobus saudara Yesuslah yang menulis surat Yakobus dan ada yang meyakini bahwa kitab tersebut pseudonymous (menggunakan nama samaran). Namun, hal tersebut di dalam pendahuluan tersebut tidak akan menjadi sorotan utama penulis buku, melainkan memulainya dengan melihat ke arah mana pembahasan dalam kitab tersebut, dengan keyakinan bahwa kitab tersebut asli dan awal.
Konten
Keyakinan bahwa Yakobus sebagai pemimpin gereja mula-mula yakni Yerusalem, menjadi nyata setelah melihat konfirmasi penulis Yakobus bahwa surat tersebut ditujukan kepada “kedua belas suku di perantauan” (Yak. 1:1). Paulus menuliskan bahwa Yakobus adalah salah satu penatua dalam jemaat di Yerusalem (Gal. 1:19; 2:9). Namun, ia juga menuliskan bahwa “saudara Yakobus” mendatangi komunitas Kristen di Antiokia (Gal. 2:12). Penulis Kisah Para Rasul tidak menghubungkan “yang datang dari Yudea” ke Antiokia (Kis. 15:1) bersama Yakobus, namun dalam tulisannya ia menggambarkan beberapa peran Yakobus dalam jemaat di Yerusalem (Kis. 15:21; 23-29; 12:17; 15:5). Dengan melihat adanya peristiwa perpindahan Antiokia dan Yerusalem, Kisah Para Rasul melukiskan Yakobus bukanlah lawan Paulus, namun merupakan mediator antara Paulus dan penentangnya.
Hubungan Antara Paulus dan Yakobus
Terkait hubungan/keterkaitan antara Yakobus dan Paulus, Johnson mengangkat satu pandangan ahli, yakni J.B Mayor. Mayor melihat bahwa jika surat Yakobus diyakini sebagai yang awal bagi jemaat Kristen, maka lebih tepat diasumsikan bahwa Pauluslah yang merespons tulisan Yakobus, daripada Yakobus yang menanggapi Paulus. Bagaimanapun, Paulus dalam suratnya menuliskan bahwa Yakobus adalah pelayan Tuhan yang memiliki peran penting, misalnya dalam kasus Barnabas dan Kefas. Dapat dicurigai mungkin saja ketika Paulus melihat surat yang dikirimkan Yakobus kepada “jemaat berada di perantauan” menekankan perbuatan dan iman, Paulus melihat hal tersebut sifatnya terlalu menantang. Namun, Johnson tidak sepenuhnya sependapat dengan Mayor, karena menurut Johnson untuk dapat meninjau lebih jauh seperti apa keterkaitan antara Paulus dan Yakobus, maka dapat dilihat melalui konteks yang dihadapi kedua tokoh ini yang adalah berbeda-beda. Paulus menulis kepada banyak komunitas dan individu yang ditunjuk secara khusus, sementara Yakobus berbicara kepada pembaca umum. Paulus menuliskan kepada jemaat yang Kristen non-Yahudi atau campuran yang ia bentuk, sementara Yakobus menuliskan surat kepada jemaat Kristen Yahudi. Paulus menuliskan sesuai dengan konteks atau permasalahan atau pergumulan yang terjadi pada jemaat tertentu secara spesifik, sementara Yakobus tampaknya tidak memiliki krisis spesifik dalam pandangannya.
Yakobus dan Paulus adalah dua tokoh yang dikenali dalam tradisi Yunani-Romawi, meskipun seringkali banyak yang melihat kedua tokoh ini sepertinya bertentangan, namun yang pasti mereka setuju dengan semua pengajaran bahwa identitas sebagai orang percaya harus diterjemahkan pula dalam perilaku dan hidup yang bermoral baik. Perbedaannya, Yakobus menggunakan “pekerjaan” (ergon) sebagai sebuah efek atau tindakan dalam 1:4 dan 3:13 dan menghubungkannya dengan “perbuatan” dari iman (1:25; 2:14, 17-18, 20, 21, 22, 24, 25, 26). Yakobus tidak pernah menghubungkan istilah perbuatan atau pekerjaan dengan “taurat” (nomos). Dan tidak dapat dipungkiri, Paulus sendiri dalam suratnya juga seringkali memberi penekanan kepada “perbuatan” (Band. Rm. 13:3; 1:20; 15:18; 1 Kor. 3:13-15; 9:1; 15:58; 1 Tes.1:3). Bahkan ia menuliskan “karya imanmu” (1 Tes. 1:3). Dengan kata lain, perdebatan terkait perbedaan yang ada dalam tulisan Yakobus dan Paulus hadir karena pembaca tidak terlebih dahulu mengetahui konteks dari masing-masing penulis. Perbedaan penekanan yang diberikan oleh Yakobus dan Paulus sangat dipengaruhi oleh situasi mereka dan pembaca yang mereka hadapi/gumuli.
Hubungan antara Yakobus dan Paulus adalah pembahasan yang cukup menarik dalam kalangan para penafsir. Analisis tentang persamaan dan perbedaan di antara mereka telah mendominasi dan mengubah banyak studi tentang Yakobus, terutama sejak masa reformasi. Martin Luther bersikeras bahwa ajaran keduanya, terutama dalam ajaran iman dan keselamatan, adalah bertentangan. Oleh karena itu, penulis buku menyarankan pendekatan yang lebih baik untuk melakukan perbandingan terhadap kedua tokoh tersebut ialah dengan mengenali sastra dan sentralisasi kedua tokoh tersebut. Di sisi lain, Paulus dan Yakobus memiliki kemiripan gaya karena menggunakan prosa Yunani-Romawi. Keduanya menggunakan Abraham sebagai contoh dan contoh, namun perbedaannya terdapat dalam arah fokus/tujuan dari penggunaan tokoh Abraham tersebut.  Tidak ada dalam Yakobus yang dapat ditafsirkan sebagai bagian dari “keyahudian”, terutama yang diarahkan terhadap Paulus.
Yakobus dan Helenistik
Dalam studi Yudaisme pada beberapa dekade terakhir, telah diakui bahwa budaya helenistik secara menyeluruh menyerap Yudaisme, baik yang berada di Diaspora maupun Palestina. Jika benar, asal usul Yakobus diyakini berasal dari Yerusalem dan hidup sebelum tahun 62, maka dapat diyakini pada masa hidup Yakobus, ia telah banyak berjumpa dengan pengaruh dari tradisi Helenistik. Di dalam surat Yakobus banyak dimensi Helenistik di dalamnya (band. 3:6-7; 1:2-3; 1:24; 2:4, 20; 4:14, dll). Dapat dipastikan bahwa surat Yakobus bukanlah kitab terjemahan, melainkan memang dari mulanya berbahasa Yunani.
Selain itu, untuk dapat meninjau lebih jauh dalam menjawab pertanyaan siapa sebenarnya penulis surat ini, maka pendekatan yang jauh lebih baik adalah memberi perhatian lebih dekat kepada bentuk literatur surat ini. Salah satunya ialah jenis retorika dari dunia Helenistis yang banyak ditemukan dalam surat Yakobus ini. Selain itu, hampir semua kosakata dalam Yakobus ditemukan juga dalam Septuaginta, dan beberapa konstruksi semitnya hanya akan masuk akal untuk pembaca dalam bahasa Yunani yang akrab dengan penggunaannya dalam Septuaginta. Ketika Yakobus mengutip kata “semua hukum” harus dijaga, maka tidak ada indikasi bahwa ia mengadvokasi “keyahudian” apapun. Melainkan apa yang Yakobus pahami tentang semua hukum adalah “mengasihi sesama manusia” menurut Kitab Suci (2:8) dengan bimbingan aplikatif moral dalam Imamat. Singkatnya, Yakobus secara khusus memadukan bahasa moralisme Yunani-Romawi dan bahasa Kitab Suci. Selain itu, banyak pula istilah-istilah yang Yakobus gunakan dapat ditemukan dalam literatur Yahudi lainnya.


Perspektif moral dan agama dalam Yakobus
Pusat tematis Yakobus terdapat dalam dualisme antara moral dan agama. Yakobus membandingkan Tuhan (theos) dan dunia (kosmos) sebagai objek komitmen manusia (“persahabatan”) dan mengatakan bahwa manusia harus memilih antara keduanya. Jika perjanjian dengan Allah sama seperti pernikahan, maka melanggar perjanjian adalah seperti perzinahan (lihat Hos 3: 1; Yeh. 16:38; 23:45; Yes 57: 3; Yer 3: 9; 13:27). Jadi Yakobus menganggap orang Kristen yang berpikiran ganda sebagai mereka yang mengaku hidup menurut standar “iman Yesus” tetapi setiap hari mengadopsi nilai dan perilaku orang luar, dan hidup di dalam “perzinahan rohani.”
Oleh karena itu, argumen  terbaik untuk menanggalkan Yakobus sebagai yang terakhir dan bersifat pseudonym dan bukan awal dan otentik oleh Yakobus dari Yerusalem (saudara Yesus) adalah bahasa Yunani dan ketergantungannya pada ajaran Paulus tentang kebenaran melalui iman.
Awal Mula Diterimanya Surat Yakobus
Origenes adalah yang pertama mengutip Yakobus sebagai kitab Suci setelah Clement. Terdapat kesulitan untuk menerima surat ini sebagai sebuah kitab, yakni cara penulisan kitab tersebut menggunakan sumber-sumber terkemudian. Hanya kutipan PL yang diperlihatkan dengan jelas, meski “tulisan suci” lainnya disinggung secara eksplisit. Kesulitan kedua, oleh karena isi daripada kitab/surat itu sendiri yakni bukti bahwa Yakobus adalah surat yang berisi nasehat moral (paraenesis) yang menggunakan tradisi moral Yunani dan Yahudi. Namun, Johnson berusaha melihat kemungkinan-kemungkinan yang telah diakui yang membuat surat Yakobus diterima sebagai sebuah kitab, yakni melihat kesamaan-kesamaan yang terdapat antara Perjanjian Baru dengan T12P, 1 Clement, dan Hermas.
Kitab Yakobus dalam gereja Aleksandria banyak digunakan setelah pengkanonan yang dipengaruhi Origen. Selain Aleksandria, gereja-gereja di Palestina terutama Yerusalem pun sama halnya. Karena menurut pandangan tradisi, Yakobus saudara Yesus adalah uskup pertama dari gereja Yerusalem. Namun, di samping itu terdapat pula gereja-gereja yang menolak dan bahkan tidak mendaftarkan Yakobus dalam kanonnya. Salah satu penyebabnya ialah Gereja di Aleksandria yang memiliki banyak penentang.
Kitab Yakobus sendiri seringkali digunakan dalam pembacaan alegoris dari teks Perjanjian Lama. Selain itu, kesulitan dalam memahami tulisan Yakobus juga terjadi, salah satunya dalam 1:2. Namun, kesulitan ini cenderung terjadi dalam terjemahan bahasa Inggris. Hal tersebut tidak terlalu sulit dipahami bagi mereka yang berbahasa Yunani, oleh karena istilah “pencobaan” yang digunakan Yakobus memiliki dua makna yakni “ujian” dan “godaan”. Sama halnya dengan teks-teks lain, akan menjadi lebih jelas jika dimaknai sesuai dengan bahasa dan konteks aslinya. Oleh karena itu, Johnson berusaha melihat teks-teks yang cukup menjadi perhatian dalam perdebatan para pembaca dengan penafsiran yang berdasarkan konteks yang dihadapi dan digumuli Yakobus atau penulis surat Yakobus ini, misalnya bahasan tentang “perbuatan dan iman” (2:20-26) dan “setiap pemberian yang baik dan sempurna” (1:17).
Meskipun Yakobus cukup awal dikenal dan digunakan di gereja Yunani di Timur, Yakobus lantaran tidak cepat dikenal di Barat. Namun perjalanan kitab Yakobus pada akhirnya diterima dan diakui di Barat cukup kompleks dan panjang. Di timur Origen adalah yang antusias mengusahakan surat Yakobus (185-254), dan keseluruhan tradisi Aleksandria setelahnya meyakinkan bahwa kanonisasi setidaknya berada pada masa Kerajaan berbahasa Yunani. Clement adalah penulis Aleksandria pertama yang mempunyai bukti substantial (kira-kira 150-215), meskipun di samping banyak anggapan yang beragam tentang tulisan Clement. Di luar gereja di Roma, penggunaan ‘Yakobus’ yang paling awal adalah kutipan dalam Yak. 1:17 oleh Hilary of Poitiers (356-358) yang adalah pengagum Origenes. Sempat menghilang dari kanon di dalam berbagai tempat, secara tiba-tiba dalam periode dua dekade terkemudian, Yakobus muncul di Barat. Athanasius menerbitkan suratnya dengan daftar kanonik di tahun 367 dan Yakobus terdapat di dalamnya. Ini merupakan titik awal surat Yakobus pada akhirnya ditetapkan menjadi salah satu bagian dari kanon yang diakui di gereja Barat. Selain itu, diindikasikan pula bahwa sebelum abad ke-2, surat Yakobus sudah memiliki peran dalam gereja Roma. Penerimaan surat Yakobus sebagai salah satu kanon gereja di Barat tak lepas dari peran ketiga tokoh berikut yakni: Rufinus (345-410), ia adalah salah seorang murid Origen yang juga menulis catatannya tentang Yakobus. St. Jerome (342-420) ia adalah sekretaris Paus Damasus yang memasukkan Yakobus di antara tulisan-tulisan PB, dan menerjemahkannya dalam bahasa Latin. Kemudian, Augustine dari Hippo (354-430), ia juga salah seorang pengagum Origenes, dan dalam surat-suratnya ia secara antusias mengakui surat Yakobus sebagai Kitab Suci.
Dunia Sosial Kitab Yakobus
Konteks sosial yang dihadapi penulis surat Yakobus ditentukan oleh siapa penulis kitab Yakobus sebenarnya. (1) Pandangan tradisi bahwa Yakobus saudara Yesus: jika diambil kesimpulan konteks penulis dan pembaca berdasarkan pandangan tradisi ini, maka tidak sedikit ditemukan ketidakcocokan dengan isi teks Yakobus, baik dalam jenis sastra maupun keterangan-keterangan yang belum cukup untuk menggambarkan situasi pembaca sebenarnya. Penolakan terhadap pandangan tradisional ini berdasarkan dari konflik yang ada dalam “Sejarah Yakobus” yang diketahui dari sumber-sumber lain dan bukti dari dalam surat itu sendiri yang tidak cukup mengindikasikan ketepatan pandangan tradisional. (2) Tulisan Pseudonim dan Ide sejarah: memutuskan bahwa kepenulisan surat ini bersifat pseudonim, maka membuat pencarian akan konteks sosialnya semakin lebih mudah, karena hal tersebut cenderung menempatkan Yakobus tidak berada dalam konteks sosial tertentu, melainkan dalam perkembangan ide-ide yang sementara. Namun, dengan kata lain untuk dapat memahami konteks sosial Yakobus, maka Paulus menjadi kunci utamanya. Oleh karena, Paulus lebih awal daripada Yakobus, terutama dalam pembahasan tentang “orang kaya dan miskin” dan “iman dan perbuatan”. (3) Konteks sosial diketahui melalui jenis sastra: M.Dibelius adalah pelopornya. Menurutnya, Yakobus merupakan kumpulan tradisi kebijaksanaan yang relatif dan tidak terstruktur serta tanpa acuan yang khusus pada waktu atau tempat tertentu. Sementara Perdue, meyakini bahwa surat Yakobus adalah surat yang bersifat paraenesis. Johnson menyimpulkan bahwa Yakobus bukan sekadar ringkasan tema kebijaksanaan atau sejenis paraenesis yang mengambang bebas, tetapi nasehat yang jelas yang muncul dari dan ditujukan kepada manusia yang nyata dalam lingkungan sosial tertentu. Isi surat cukup menegaskan bahwa konteks sosial surat ini adalah apa yang dihadapi oleh seorang pemimpin gereja Yerusalem dan seorang mesianis Yahudi dari diaspora selama dekade pertama gerakan Kekristenan.
Penggunaan Imamat 19 dalam Yakobus
Johnson melihat bahwa dalam kepenulisan surat Yakobus, kitab Imamat 19 memiliki peran yang besar. Di dalam suratnya, penulis Yakobus banyak mengidentifikasi beberapa kata-kata dan kalimat-kalimat khiasan tematik dalam Imamat 19, serta memperlihatkan bagaimana perintah kasih dalam 19:18b dimaksudkan dan dimaknai dalam surat Yakobus.
Penggunaan Ucapan-ucapan Yesus dalam Yakobus
Selain itu, lebih dari dua abad terakhir, beberapa ahli melihat bahwa Yakobus dalam suratnya banyak menggunakan tradisi dari perkataan Yesus. Penulis dalam esainya hanya berfokus terhadap enam perkataan: empat yang Deppe (seorang ahli yang meneliti studi ini) sebut “sindiran sadar” (Yak. 5:12; 1:5 dan 4:2c-3; 2:5) dan dua lainnya di luar “sindiran sadar” (Yak. 2:8 dan 13). Pertama, Yakobus 5:12 paralel dengan Matius 5:34-37. Johnson sepakat dengan hipotesis yang melihat kemungkinan besar Yak. 5:12 adalah sumber yang independen untuk pelarangan akan sumpah yang dikaitkan dengan perkataan Yesus dalam Mat. 5:43-37. Ia juga melihat bahwa Yakobus mencerminkan tradisi sebelumnya daripada yang ada pada masa Matius. Dengan kata lain, besar kemungkinan keduanya memiliki sumber yang sama. Kedua, Yakobus 1:5 dan 4:2c-3 paralel dengan Matius 7:7, 11 = Luk. 11:9, 13. Ketiga, Yakobus 2:5 memperlihatkan adanya pengadaptasian dari ucapan bahagia Yesus (Mat. 5:3 = Luk. 6:20b) dan menghubungkannya dengan tujuan persuasifnya. Namun, penafsiran akan ayat tersebut juga beragam. Keempat, Yakobus 2:8 selain di kaitkan dengan Imamat 19, ahli lainnya melihat ayat ini juga paralel dengan Matius 22:39; Mark.  12:31; Luk. 10:27. Kelima, Yakobus 2:13 konvensional dalam ajaran Yahudi dan literatur-literatur dari para nabi kepada para rabbi (Sir. 29:1; Tob. 4:10-11). Selain itu, paralel pula dengan QM 5:7 = QL 6:36 sebagai sebuah ucapan Yesus yang memberikan karakter konvensional antara Yudaisme dengan Kekristenan awal (1 Clement 13:1-12). Kutipan-kutipan yang dimiliki Yakobus, beberapa ahli memiliki pendapat yang berbeda-beda tergantung kepada siapa keberpihakan mereka terhadap penulis surat ini. Namun, digunakannya perkataan-perkataan atau tradisi Yesus dalam surat Yakobus besar kemungkinan terjadi sebelum komposisi dari Injil Sinoptik, atau paling tidak sebelum pengajaran Yesus (Injil) ditetapkan menjadi standar.
Diam dan agama yang benar: Yakobus 1:26-27
Tradisi hikmat kuno meyakini bahwa orang yang dikatakan bijak adalah mereka yang diam dan menahan ucapannya. Hal tersebut sering pula digemakan dalam literatur Perjanjian Lama (LXX), ajaran moralis Helenistik, dan lainnya.
Dalam dunia Helenistik, “diam” dan “berbicara” memiliki bentuk pemaknaan yang khas. Demetrius (pakar Yunani) mengualifikasikannya menjadi, (a) kalimat pendek namun bermakna jauh lebih baik daripada panjang namun berlebihan dan melumpuhkan makna kalimat; (b) seorang pemikir akan menaruh banyak pemikiran di dalam ruang kecil atau kalimat yang tidak bertele-tele; (c) ringkasnya kalimat berguna untuk simbolisme yang memaksa pendengar/pembaca untuk melakukan penafsirannya sendiri. Ucapan harus didasarkan pada pengendalian diri karena menurut Demetrius, kata adalah “citra jiwa seseorang” yang memungkinkan pembaca untuk “melihat karakter sang penulis”. Seneca pun berpendapat bahwa ucapan harus dikontrol. Oleh karena itu, diam dibutuhkan untuk mempelajari banyak hal agar menjadi bijak. Diam merupakan perlindungan dari kesalahan-kesalahan. Kurangnya pengendalian diri adalah sebuah kesalahan.
Banyak kajian etika Helenistik ditemukan juga dalam Yakobus. Yakobus menekankan pentingnya mendengar, dan menahan ucapan (3:1). Namun Yakobus jauh lebih mendalam, ia bahkan memberi penekanan bahwa lidah pun berpotensi berbuat kejahatan/dosa (1:26). Kemudian ia menambahkan bahwa agama dan etika tidak dapat dipisahkan. Demikianlah, hidup keagamaan yang benar harus diwujudkan dalam sikap hidup yang benar (1:27)
Metafora Cermin (Yakobus 1:22-25)
Pada masa itu cermin terbuat dari logam yang dipoles. Cermin dapat dijadikan sebagai sebuah metafora untuk memberi gambaran terhadap sesuatu. Yakobus menggunakan metafora cermin untuk menggambarkan sikap moral yang seringkali dimiliki oleh manusia. Gambar dalam cermin sebenarnya menipu dan mengarah pada ilusi. Gambar dalam cermin tidak permanen, dan menggambarkan sesuatu yang sementara. Cermin tidak boleh hanya digunakan untuk hiasan, tetapi juga alat untuk perbaikan diri. Seneca mengatakan “cermin diciptakan agar manusia dapat mengenal dirinya sendiri”. Cermin berfungsi sebagai metafora untuk peningkatan moral diri. Yakobus melihat bahwa semestinya ada kontras antara ucapan dan tindakan sebagai tanda kemajuan moral dan cermin dalam kehidupan seseorang. Sikap hidup yang baik akan memperlihatkan cerminan hidup yang baik pula. Johnson meninjau tiga kisah hidup tokoh Alkitab yang menjadi figur hidup untuk menggambarkan sebuah cerminan hidup, yakni bagaimana iman yang “disempurnakan” oleh tindakan yang nyata, yaitu Abraham dan Rahab (2:20-26), Ayub (5:10-11), dan Elia (5:16-18).
“Persahabatan Dengan Dunia” atau “Persahabatan Dengan Allah”
Johnson berusaha melihat seperti apa identitas Kristen di dalam surat Yakobus, terutama pembahasan sekitaran “persahabatan dengan dunia” dan “persahabatan dengan Allah”. Pepatah “Persahabatan dengan dunia adalah Permusushan dengan Tuhan” tidak ditemukan di dalam semua literatur Helenistik maupun teks-teks Hikmat Perjanjian Lama, bahkan dalam literatur Yahudi Helenistik. Namun, jika diperhatikan maka Yakobus 4:4 terlihat paralel dengan 1 Yohanes 2:15-17. Namun, tidak dapat dipastikan seperti apa keterkaitan antara surat Yohanes dan Yakobus. Kemungkinan yang dapat diberikan ialah antara penulis surat Yohanes dan Yakobus secara independen memiliki tradisi bersama (yang asalnya tidak dapat/belum diketahui).
Johnson memaparkan beragam pemaknaan dari kata “dunia” dan “persahabatan”. Kata “dunia” tiga kali disebutkan penulis surat selain dalam Yak. 4:4, yakni dalam 3:6 ia menggunakannya sebagai metafora sehingga tidak terlalu mudah untuk dipahami, dalam 2:5 kata “dunia” digunakan untuk menjadi ukuran pembedaan dengan Kerajaan Allah, dan dalam 1:27 kata “dunia” digunakan dengan tegas sebagai standar untuk membedakan kehidupan yang Allah kehendaki dengan yang tidak Allah kehendaki. Dengan kata lain, kata “dunia” bukanlah mengacu kepada dunia ciptaan Allah, melainkan kepada hidup yang tidak menempatkan keberadaan Allah. Selain itu, kata “Persahabatan” dimaknai bukan hanya kedekatan secara badaniah, tetapi juga secara spiritual. Dalam Orestes “sahabat” disebut dengan “satu jiwa”, yang berarti memiliki perasaan dan pemikiran serta tujuan yang sama. Lebih jauh lagi, penulis buku mengatakan bahwa “Fellowship (koinonia) was friendship, because “friendship is equality””. Abraham merupakan salah satu figur yang dipakai oleh Yakobus untuk menggambarkan bagaimana “persahabatan dengan Tuhan”. Ketaatan Abraham kepada Tuhan, menjadikan ia seorang sahabat bagi Tuhan. Iman yang ia wujudkan melalui tindakan membuat ia menerima pembenaran dari Allah, dan bahkan menjadikannya sahabat Allah. Abraham menunjukkan sikap sebagai sahabat terhadap Tuhan. Demikian pula, seringkali manusia diperhadapkan dengan kedua hal ini, dan apabila seseorang memiliki kedua hal ini di dalam dirinya maka mereka tidaklah benar-benar hidup sebagai “pelaku” firman Allah.
Gender Surat Yakobus
Dalam melihat jenis dari surat Yakobus ini, maka Johnson menyarankan tiga pendekatan, yakni pertama-tama melihat bahasa dan peran yang secara eksplisit memiliki jenis; kedua, pada gambaran seksualnya, dan; ketiga, pada implikasi isi surat Yakobus dibandingkan dengan tulisan-tulisan hikmat lainnya. Pada pendekatan pertama dan kedua dapat disimpulkan bahwa jenis bahasa yang dimiliki Yakobus adalah androsentrik, meskipun komposisi yang diberikan memiliki hasil yang tidak begitu jelas. Dengan kata lain, Johnson menganggap isu-isu gender dalam kepenulisan surat Yakobus juga diungkapkan. Ia mengangkat penggunaan jenis kata maskulin dan feminis dalam surat Yakobus serta pemaknaannya sesuai dengan situasi kepenulisan surat tersebut.
Penutup
Yakobus dan Teologi
Mengingat di dalam dunia teologi, surat Yakobus sulit untuk mendapatkan penghargaan dari berbagai penafsir dan tokoh sejarawan gereja, maka tidak mudah untuk segera mengaitkan teologi Yakobus dengan teologi Kristen. Terutama pada masa reformasi Luther yang di mana ia melihat bahwa Yakobus tidaklah pantas untuk dijadikan salah satu bagian dari Kitab Suci. Tidak sedikit orang yang pada akhirnya menyetujui anggapan Luther tersebut. Namun setelah menerima pengakuan sebagai salah satu kitab yang berwibawa, Yakobus kini bebas secara teologis berbicara kepada seluruh umat dengan sendirinya, bahkan sampai masa kini. Yakobus merupakan kitab yang sampai saat ini masih diakui keabsahannya sebagai kitab suci. Yakobus adalah kitab yang berpusat kepada Allah dan Kristus serta Roh Kudus. Namun, penggambaran yang ia gunakan untuk Tuhan tidaklah mudah untuk segera dipahami. Pemahamannya tentang Tuhan jauh melampaui penegasan monoteisme sederhana (2:19; 5:4; 1:13, 17, 20, dan lainnya). Kekhasan lainnya dalam kitab Yakobus ialah penggambarannya yang tidak sederhana tentang relasi antara dunia dan Tuhan. Ia sering menggunakan metafora-metafora yang sarat akan makna, sehingga menuntut penafsiran yang tidak dangkal. Selain itu, dua aspek teologis Yakobus yang khas ialah cara Yakobus mendasarkan perilaku moral yang berakar dalam Yesus Kristus lebih utama daripada pengalaman-pengalaman batin yang tidak terlihat, dan bagaimana caranya teologi harus selalu dikaitkan dengan pengajaran moral.
Johnson menarik tiga refleksi teologis dari kitab Yakobus untuk gereja di dunia kontemporer, yakni: (a) gereja dituntut untuk berintegritas dalam berbicara. Bahasa memiliki kekuatan yang luar biasa, di dalamnya terungkap sebuah “kebenaran” dan “kesalahan”. Bahkan Allah sendiri menciptakan dunia hanya dengan “ucapan-Nya”. Melalui ucapan maka kebenaran firman Tuhan dapat tersebar. (b) Iri hati dan arogansi merupakan salah satu sumber konflik manusia. Jikalau manusia memilih untuk menjalin “persahabatan dengan dunia” maka kedua hal ini sepenuhnya akan menjadi ukuran tindakannya. Namun jikalau manusia memilih menjalin “persahabatan dengan Tuhan” maka dalam hidupnya akan selalu mencari apa yang menjadi “pikiran Kristus”. Dan (3) solidaritas dalam komunitas atau persekutuan sangat diperlukan dalam kehidupan bersama umat Allah (2:2, 8 dan 5:14). Sikap saling menguatkan, menolong, dan menghibur dalam kehidupan bersama menjadi salah satu perintah yang Allah inginkan untuk manusia lakukan. Dengan kata lain, Yakobus menantang kehidupan seorang Kristen untuk berintegritas dalam pemikiran, ucapan dan tindakan. Selain itu, menantang gereja untuk menyadari bahwa kehidupan komunalnya merupakan hidup yang harus dijalani dalam solidaritas yang sejati di dalam Tuhan.
Evaluasi
            Menurut Pelapor, Johnson memaparkan esainya dengan memakai bukti-bukti yang cukup akurat. Selain memakai sumber-sumber, ia juga melihat kepada sejarah. Namun, di dalam esainya, Johnson cenderung lebih mendominasi dalam menggunakan bukti-bukti yang mendukung pendapatnya. Terlebih, dalam usaha untuk menyelidiki siapa penulis kitab Yakobus ini. Selain itu, pemaparan esai milik Johnson ini cukup menarik, dan melaluinya pelapor banyak menerima pengetahuan-pengetahuan baru.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar