BAB
I
PENDAHULUAN
Pada umumnya gereja-gereja di Indonesia
mempunyai asal-usul dari Barat[1],
melalui para misionaris yang diutus untuk mengabarkan Injil ke Indonesia,
seperti: Lembaga Pekabaran Injil Rheinische Mission Gesselschaft (RMG) dari
Jerman yang mengutus Nomensen[2] ke
tanah Batak[3], yang kemudian dikenal
dengan julukan Rasul Batak[4]
dan diberi gelar Ompu (nenek).
Namun Gereja Kristen Protestan Indonesia
(GKPI) (secara organisatoris) tidak mempunyai hubungan dan urusan dengan semua
lembaga pekabaran Injil dari Barat tersebut. Ia tidak mempunyai basis di Barat,
melainkan lahir sesuai dengan konteks pergumulannya[5]
akibat skisma Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) di kota Pematang Siantar.
Oleh karena itu, berbicara mengenai sejarah kelahiran GKPI, hal itu tidak dapat
dilepaskan dari institusi HKBP dari mana ia “lahir”.
Pada dasarnya GKPI mempunyai tugas yang
sama dengan gereja-gereja lain, yaitu untuk mengemban dan mewujudkan misi Yesus
Kristus didalam pengutusannya. Dalam rangka memenuhi tugas panggilan tersebut,
tentunya GKPI akan mengalami benturan-benturan. Salah satu dari
benturan-benturan yang dimaksud adalah timbulnya perpecahan dalam tubuh GKPI
sendiri, dimana perpecahan itu secara tidak langsung akan menjadi hambatan
dalam melaksanakan tugas dan panggilan gereja.
Bab II
PEMBAHASAN
2.1
Latar Belakang Dan Konteks Kelahiran GKPI[6]
a.
Awal
Mula Injil dalam Sejarah GKPI
GKPI pada dasarnya
bukanlah gereja Batak. Dengan sadar para pemrakarsa GKPI, baik kalangan
pelayanan (pertohonan) maupun warga
gereja (yang waktu itu lazim disebutkan ‘kaum awam) menyematkan Indonesia ke
dalam nama organisasi gereja yang baru ini. Karena itu pulalah pada tahun-tahun
pertama ada sejumlah pelayanan dan warga gereja non Batak yang bergabung ke
GKPI.[7] Dan tak dapat disangkal
bahwa GKPI lahir di Sumatera utara. Di lingkungan gereja dan masyarakat yang
sangat kental diwarnai oleh ke Batak-an (Habatahon),
sehingga sedikit banyaknya suasana Huria Batak (khususnya HKBP) dan masyarakat
Batak itu ikut mewarnai keberadaan GKPI.
Di
GKPI sendiri cukup tinggi kesadaran dan pemahaman bahwa secara langsung ataupun
tidak langsung, ada kaitan GKPI dengan para perintis kekristenan di Tanah
Batak. Terutama sejumlah penginjil (misionaris, Missionari Zendeling) dari
Barat. Misalnya nama sejumlah misionaris Rheinische Missions-Gesellschaft (RMG)
dari Jerman, terutama Nommensen. Masih sangat popular dan dihormati di kalangan
GKPI, apalagi sebagian besar warga HKBP Huta Dame – Sait ni Huta, Tarutung.
Jemaat yang dibuka Nomensen, kemudian bergabung dengan ke GKPI. Berbagai
kebiasaan, antara lain sistem pemerintahan gereja (church polilty) dan tata ibadah yang digagas dan dikembangkan para
misionaris RMG. Juga di anut oleh GKPI sampai saat ini, pendekatan kata, GKPI juga
memahami diri sebagai gereja yang ikut melanjutkan garis sejarah yang dimulai
oleh para penginjil Barat sejak abad ke-19 itu.
b.
Konflik
dan Gejolak-gejolak di HKBP
Keberadaan
suatu lembaha gereja di dunia ini tentunya tidak luput dari tantangan dan rintangan.
Ketika misionaris Nomensen masih merintis Kekristenan, ia sudah menyiratkan hal
tersebut kepada orang Batak di Huta Dame. Dan ini merupakan tonggak sejarah
kekristenan bagi orang Batak.
Realitas
perpolitikan Internasional turut dirasakan oleh masyarakat Batak Kristen,
ketika Hitler memimpin Jerman menduduki Belanda, maka seluruh warga negara
Jerman yang berada di Indonesia ditangkapi oleh kolonial Belanda.[8] Hal tersebut menyebabkan
krisis kepemimpinan bagi Gereja dalam menekuni iman kekristenannya.
Di
samping itu, kemelut politik di dalam negeri tengah menghadang juga adanya
ancaman komunisme dan pencarian bentuk ideologi negara.[9] Pergulatan politik
nasional ikut menambah persioalan warga jemaat. Di mana gereja harus melayani
jemaatnya sementara ia sendiri masih menuju proses kemandirian. Selain itu,
juga diperhadapkan pada masalah internal, yaitu adat Batak yang cukup memainkan
peranan sangat kuat.[10]
Di
sekitar tahun 1962 konflik internal HKBP cukup riskan dan menggoyang
keutuhannya, di mana kekurangserasian sesaama pengerja memuncak. Beberapa
pendeta merasa kurang puas atas pelayanan,pengelolaan dan kemimpinan gereja
yang dinilai kurang beres. Berbagai wadah dibentuk untuk mengatasi persoalan
namun tidak dapat diselesaikan dan akibatnya terjadi pro-kontra. Namun yang
perlu dicermati ialah bahwa konflik itu bukanlah karena faktor teologis.[11] Menurut berbagai kalangan
banyak hal yang mengakibatkannya. Setelah diteliti, akar persoalan muncul
ketika seorang warga jemaat biasa, pengusaha besar, memegang jabatan struktural
di majelis pusat. Hal itu menimbulkan kekecewaan.[12]
Berikut
merupakan faktor penyebab kemelut di HKBP sebelum lahirnya GKPI, yakni:[13]
a. Masalah
organisasi dan kepemimpinan, di mana semakin banyak oraang yang hendak ikut
mengatur kehidupan gereja, termasuk mereka yang berlatar belakang bisnis dan
politik. Masalah ini dipertajam oleh munculnya Peraturan HKBP yang baru (1962)
yang sangat menonjolkan peranan para pejabat gereja, sistem organisasi yang
kian sentralistik, serta kurang memberi ruang dan penghargaan kepada warga
gereja.[14]
b. Perebutan
jabatan-jabatan di gereja dan lembaga-lembaga di lingkungan gereja (termasuk
Universitas HKBP Nomensen), yang menimbulkan praktik suap dan simoni (jual-beli
jabatan) di satu sisi dan pemberhentian terhadap tokoh-tokoh yang dianggap
krisis di sisi lain.
c. Mutasi
dan pemecatan pendeta karena dinilai melakukan pemisahan dari HKBP.[15]
Dari
faktor-faktor penyebab itu sampai sejauh ini belum cukup terlihat adanya faktor
teologis-dogmatis dan karena di dalam perkembangan selanjutnya hampir tidak ada
perbedaan antara HKBP dan GKPI dalam hal dogma/ajaran. Apalagi kemudian GKPI
juga mengaku sebagai gereja Lutheran dan – menyusul HKBP – juga menjadi anggota
Lutheran World Federation (LWF) yang berpegang pada ajaran reformator Martin
Luther.
2.2
GKPI
Dibentuk dan Diproklamasikan
Surat
keputusan Gubernur Sumatera Utara tertanggal 14 Agustus 1964 yang melarang
pembentukan organisasi atau lembaga yang bertentangan dengan HKBP, atau lembaga
yang bertentangan dengan peraturan HKBP, tidak menyurutkan gerakan yang sudah
semakin marak dan berkombar di sejumlah warga dan pelayanan HKBP. Mereka tidak
bersedia lagi berada di bawah kepemimpinan Pucuk Pimpinan HKBP. Pada tanggal 15
Agustus 1964, sejumlah warga dan pelayan yang sudah menyatakan diri memisahkan
diri dari HKBP berhimpun di Pematang Siantar dan sepakat untuk membentuk
organisasi gereja yang baru, tanpa sempat berkomunikasi dengan mereka yang ada
di Medan.[16]
Kemudian
mereka berkumpul di Pematang Siantar dan berkumpul di rumah Dr. Andar L. Tobing
(rektor universitas HKBP yang dituduh korupsi) dan Dr. Sultan M. Hutagalung,
sekaligus meminta pendapat dari kedua tokoh ini mengenai rencana pembentukan
organisasi gereja yang baru. Mereka sepakat utuk memberi nama gereja ini yaitu Gereja
Kristen Protestan Indonesia (GKPI), ini dikukuhkan dengan sebuah doa di rumah
Pdt. Dr. Andar L. Tobing pada 16 Agustus.[17]
Sehari
sebelum peresmian – yakni pada tanggal bersejarah, Hari Reformasi 31 Oktober –
diadakan musyawarah pertama GKPI (belum disebut sinode Am) yang dihadiri oleh
utusan dari 35 jemaat yang sudah terbentuk selama dua bulan pertama itu.
Musyawarah ini menghasilkan kesepakatan tentang konsep Tata Gereja,
penyempurnaan pengurus sementara[18], dan waktu
penyelenggaraan Sinode Am yang pertama.[19] Pada tanggal peresmian
GKPI 1 November 1964, selain dilantik Pengurus Pusat GKPI, ditahbis juga 13
orang Pendeta baru.[20]
Bab III
KESIMPULAN
Kelahiran dan keberadaan GKPI tidak lepas dari
kehadiran dan perkembangan kekristenan di Indonesia, terutama di Tanah Batak.
Walaupun dari namanya GKPI bukanlah gereja Batak, namun dari latar belakang
kelahiran dan dalam proses perkembangannya, GKPI sangat sarat diwarnai
ke-Batak-an and kekristenan Batak.
Proses kedatangan kekristenan di Tanah Batak sejak
awal abad ke-19 juga dipahami dan dihayati GKPI sebagai bagian dari sejarah
kemunculannya. Para penginjil dari Barat, antara lain Nomensen, juga dipahami
GKPI sebagai bagian dari latar belaakang dan sejarahnya, sehingga GKPI juga
ikut mengenang, memperingati dan menghormati kedatangan mereka, serta mewarisi
nilai-nilai yang mereka tanamkan.
Serangkaian gejolak yang terjadi di HKBP, terutama
sejak akhir 1950-an dan awal 1960-an, sangat nyata memicu terbentuknya GKPI.
Berbagai gerakan yang muncul di HKBP dengan maksud untuk menata dan menertibkan
kembali gereja Batak terbesar ini menjadi cikal-bakal lahirnya GKPI. Banyak
tokoh dari beberapa gerakan itu kemudian menjadi tokoh perintis dan pemrakarsa
lahirnya GKPI.
Konteks sosial-politik-ekonomi di Indonesia,
khusus-nya di Sumatera Utara, ikut melatarbelakangi dan mendorong kemunculan
GKPI, sekaligus menimbulkan berbagai kesulitan ketika GKPI nanti terbentuk. Ini
memperlihatkan bahwa keberadaan gereja, termasuk GKPI, tidak lepas dari konteks
sosial-politik-ekonomi negeri ini.
Berbagai peristiwa dan realitas yang menjadi latar
belakang dan konteks kemunculan dan perkembangan GKPI ini patut kita perhatikan
dan hargai, karena GKPI tidak lahir di ruang hampa. Berbagai unsur positif
maupun negative yang terdapat atau berasal dari masa lalu, ikut mewarnai
keberadaan dan perkembangan GKPI. Bila kemudian, di dalam perkembangan yang
positif yang menghasilkan kemajuan, maupun gejolak dan kemelut yang menimbulkan
kemunduran, semua itu bukanlah hal yang tiba-tiba. Ada kesinambungan dan
pewarisan nilai-nilai.
DAFTAR PUSTAKA
Aritonang, Pdt. Prof. Dr.
Jan S., Yubileum 50 Tahun GKPI, Tinjauan
Sejarah dan Pandangan ke Depan, (Pematang Siantar: Kolportase Pusat GKPI,
2014)
Cooley, Frank., Indonesia: Church and Society, (Friendship
Press 1968)
Laporan Konsultasi
Teologi Sukabumi, 15-19 Januari 1982, Memasuki
Sejarah Bersama Membaharui, Membangun dan Mempersatukan Gereja, (Jakarta:
BPK Gunung Mulia, 1982)
Lubis, Raja., Sejarah Timbul dan Berkembangnya GKPI, (Pematang
Siantar: Kolportase Pusat GKPI, 2007)
Hale, Leonard., Jujur Terhadap Pietisme, (Jakarta: BPK
Gunung Mulia, 1996)
Hoekema, Berfikir Dalam Keseimbangan yang Dinamis,
Sejarah Lahirnya Teologi Protestan Nasional Indonesia Sekitar tahun 1860-1960, (Jakarta:
BPK Gunung Mulia, 1997)
Hutabarat, A., Dokumen Menuju Sejarah Berdirinya GKPI (Pematang
Siantar: Tata Penggembalaan, 2001)
Hutahuruk, JR. (Ed), Tuhan Menyertai Umat-Nya Jubilium 125 tahun
HKBP
Seminarium Sipoholon, Panduan Pada Perayaan Jubileum 125 tahun
HKBP 7-12 Oktober 1986, (Tarutung: Kantor Pusat HKBP, 1986)
Simanjuntak, BA., “Budaya
Konflik Krisis HKBP dan Kelengahan Strategik”, Gereja di Pentas Politik, Binar Sitompul, Rainy Hutabarat (Ed)
(Jakarta: Yakoma-PGI 1997)
Tambunan, A.M. & S.
Marantika, Beberapa Tjatatan mengenai
Perkundjungan Fact-Finding sekitar Persoalan dalam HKBP, (Desember 1963)
[1]
Laporan Konsultasi Teologi Sukabumi, 15-19 Januari 1982, Memasuki Sejarah Bersama Membaharui, Membangun dan Mempersatukan
Gereja, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1982), 42.
[2]
Hoekema, Berfikir Dalam Keseimbangan yang
Dinamis, Sejarah Lahirnya Teologi Protestan Nasional Indonesia Sekitar tahun
1860-1960, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1997), 27.
[3]
Seminarium Sipoholon, Panduan Pada
Perayaan Jubileum 125 tahun HKBP 7-12 Oktober 1986, (Tarutung: Kantor Pusat
HKBP, 1986), 12.
[4]
Leonard Hale, Jujur Terhadap Pietisme, (Jakarta:
BPK Gunung Mulia, 1996), 84.
[5]
Sekitar tahun 1960-an bdk dengan HKBPS yang kemudian beralih menjadi nama GKPS
lahir dari pergumulan oleh beberapa tokoh berlatar belakang etnis Simalungun,
alasan latarbelakang sosio budaya, demikian juga dengan HKBPA yang kemudian
menjadi GKPA di Padang Sidempuan, bukan oleh karena konflik internal yang
melanda institusi HKBP, lihat di : Sejarah
Perwujudan GKPA Dengan Latar Belakang Perjalanan Zending, (Padang
Sidempuan: Kantor Pusat GKPA, 1987), 177-180.
[6]
Pdt. Prof. Dr. Jan S. Aritonang, Yubileum
50 Tahun GKPI, Tinjauan Sejarah dan Pandangan ke Depan, (Pematang Siantar:
Kolportase Pusat GKPI, 2014), 9-10.
[7]
Belakangan jumlahnya kian menurun, seiring dengan kian mengentalnya ciri
ke-Batak-an di GKPI.
[8]
JR. Hutahuruk (Ed), Tuhan Menyertai
Umat-Nya Jubilium 125 tahun HKBP, 35.
[9]
Frank Cooley, Indonesia: Church and
Society, (Friendship Press 1968), 20.
[10]
Ibid, 68.
[11]
Ibid.
[12]
BA Simanjuntak, “Budaya Konflik Krisis HKBP dan Kelengahan Strategik”, Gereja di Pentas Politik, Binar
Sitompul, Rainy Hutabarat (Ed) (Jakarta: Yakoma-PGI 1997), 52.
[13]
Pdt. Prof. Dr. Jan S. Aritonang, 55.
[14]
A.M. Tambunan & S. Marantika, Beberapa
Tjatatan mengenai Perkundjungan Fact-Finding sekitar Persoalan dalam HKBP,
(Desember 1963), 4.
[15]
Ibid.
[16]
Pdt. Prof. Dr. Jan S. Aritonang, 61.
[17]
Ibid, 62.
[18]
A. Hutabarat, Dokumen Menuju Sejarah
Berdirinya GKPI (Pematang Siantar: Tata Penggembalaan, 2001), 19-20.
[19]
Raja Lubis, Sejarah Timbul dan
Berkembangnya GKPI, (Pematang Siantar: Kolportase Pusat GKPI, 2007), 30-31.
[20]
Pdt. Prof. Dr. Jan S. Aritonang, 64.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar