Senin, 07 Mei 2018

Makalah: SEJARAH BERDIRINYA GKPI (Gereja Kristen Protestan Indonesia)


BAB I
PENDAHULUAN

Pada umumnya gereja-gereja di Indonesia mempunyai asal-usul dari Barat[1], melalui para misionaris yang diutus untuk mengabarkan Injil ke Indonesia, seperti: Lembaga Pekabaran Injil Rheinische Mission Gesselschaft (RMG) dari Jerman yang mengutus Nomensen[2] ke tanah Batak[3], yang kemudian dikenal dengan julukan Rasul Batak[4] dan diberi gelar Ompu (nenek).
Namun Gereja Kristen Protestan Indonesia (GKPI) (secara organisatoris) tidak mempunyai hubungan dan urusan dengan semua lembaga pekabaran Injil dari Barat tersebut. Ia tidak mempunyai basis di Barat, melainkan lahir sesuai dengan konteks pergumulannya[5] akibat skisma Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) di kota Pematang Siantar. Oleh karena itu, berbicara mengenai sejarah kelahiran GKPI, hal itu tidak dapat dilepaskan dari institusi HKBP dari mana ia “lahir”.
Pada dasarnya GKPI mempunyai tugas yang sama dengan gereja-gereja lain, yaitu untuk mengemban dan mewujudkan misi Yesus Kristus didalam pengutusannya. Dalam rangka memenuhi tugas panggilan tersebut, tentunya GKPI akan mengalami benturan-benturan. Salah satu dari benturan-benturan yang dimaksud adalah timbulnya perpecahan dalam tubuh GKPI sendiri, dimana perpecahan itu secara tidak langsung akan menjadi hambatan dalam melaksanakan tugas dan panggilan gereja.


Bab II
PEMBAHASAN
2.1              Latar Belakang Dan Konteks Kelahiran GKPI[6]

a.      Awal Mula Injil dalam Sejarah GKPI
GKPI pada dasarnya bukanlah gereja Batak. Dengan sadar para pemrakarsa GKPI, baik kalangan pelayanan (pertohonan) maupun warga gereja (yang waktu itu lazim disebutkan ‘kaum awam) menyematkan Indonesia ke dalam nama organisasi gereja yang baru ini. Karena itu pulalah pada tahun-tahun pertama ada sejumlah pelayanan dan warga gereja non Batak yang bergabung ke GKPI.[7] Dan tak dapat disangkal bahwa GKPI lahir di Sumatera utara. Di lingkungan gereja dan masyarakat yang sangat kental diwarnai oleh ke Batak-an (Habatahon), sehingga sedikit banyaknya suasana Huria Batak (khususnya HKBP) dan masyarakat Batak itu ikut mewarnai keberadaan GKPI.
Di GKPI sendiri cukup tinggi kesadaran dan pemahaman bahwa secara langsung ataupun tidak langsung, ada kaitan GKPI dengan para perintis kekristenan di Tanah Batak. Terutama sejumlah penginjil (misionaris, Missionari  Zendeling) dari Barat. Misalnya nama sejumlah misionaris Rheinische Missions-Gesellschaft (RMG) dari Jerman, terutama Nommensen. Masih sangat popular dan dihormati di kalangan GKPI, apalagi sebagian besar warga HKBP Huta Dame – Sait ni Huta, Tarutung. Jemaat yang dibuka Nomensen, kemudian bergabung dengan ke GKPI. Berbagai kebiasaan, antara lain sistem pemerintahan gereja (church polilty) dan tata ibadah yang digagas dan dikembangkan para misionaris RMG. Juga di anut oleh GKPI sampai saat ini, pendekatan kata, GKPI juga memahami diri sebagai gereja yang ikut melanjutkan garis sejarah yang dimulai oleh para penginjil Barat sejak abad ke-19 itu.



b.      Konflik dan Gejolak-gejolak di HKBP
Keberadaan suatu lembaha gereja di dunia ini tentunya tidak luput dari tantangan dan rintangan. Ketika misionaris Nomensen masih merintis Kekristenan, ia sudah menyiratkan hal tersebut kepada orang Batak di Huta Dame. Dan ini merupakan tonggak sejarah kekristenan bagi orang Batak.
Realitas perpolitikan Internasional turut dirasakan oleh masyarakat Batak Kristen, ketika Hitler memimpin Jerman menduduki Belanda, maka seluruh warga negara Jerman yang berada di Indonesia ditangkapi oleh kolonial Belanda.[8] Hal tersebut menyebabkan krisis kepemimpinan bagi Gereja dalam menekuni iman kekristenannya.
Di samping itu, kemelut politik di dalam negeri tengah menghadang juga adanya ancaman komunisme dan pencarian bentuk ideologi negara.[9] Pergulatan politik nasional ikut menambah persioalan warga jemaat. Di mana gereja harus melayani jemaatnya sementara ia sendiri masih menuju proses kemandirian. Selain itu, juga diperhadapkan pada masalah internal, yaitu adat Batak yang cukup memainkan peranan sangat kuat.[10]
Di sekitar tahun 1962 konflik internal HKBP cukup riskan dan menggoyang keutuhannya, di mana kekurangserasian sesaama pengerja memuncak. Beberapa pendeta merasa kurang puas atas pelayanan,pengelolaan dan kemimpinan gereja yang dinilai kurang beres. Berbagai wadah dibentuk untuk mengatasi persoalan namun tidak dapat diselesaikan dan akibatnya terjadi pro-kontra. Namun yang perlu dicermati ialah bahwa konflik itu bukanlah karena faktor teologis.[11] Menurut berbagai kalangan banyak hal yang mengakibatkannya. Setelah diteliti, akar persoalan muncul ketika seorang warga jemaat biasa, pengusaha besar, memegang jabatan struktural di majelis pusat. Hal itu menimbulkan kekecewaan.[12]
Berikut merupakan faktor penyebab kemelut di HKBP sebelum lahirnya GKPI, yakni:[13]
a.       Masalah organisasi dan kepemimpinan, di mana semakin banyak oraang yang hendak ikut mengatur kehidupan gereja, termasuk mereka yang berlatar belakang bisnis dan politik. Masalah ini dipertajam oleh munculnya Peraturan HKBP yang baru (1962) yang sangat menonjolkan peranan para pejabat gereja, sistem organisasi yang kian sentralistik, serta kurang memberi ruang dan penghargaan kepada warga gereja.[14]
b.      Perebutan jabatan-jabatan di gereja dan lembaga-lembaga di lingkungan gereja (termasuk Universitas HKBP Nomensen), yang menimbulkan praktik suap dan simoni (jual-beli jabatan) di satu sisi dan pemberhentian terhadap tokoh-tokoh yang dianggap krisis di sisi lain.
c.       Mutasi dan pemecatan pendeta karena dinilai melakukan pemisahan dari HKBP.[15]
Dari faktor-faktor penyebab itu sampai sejauh ini belum cukup terlihat adanya faktor teologis-dogmatis dan karena di dalam perkembangan selanjutnya hampir tidak ada perbedaan antara HKBP dan GKPI dalam hal dogma/ajaran. Apalagi kemudian GKPI juga mengaku sebagai gereja Lutheran dan – menyusul HKBP – juga menjadi anggota Lutheran World Federation (LWF) yang berpegang pada ajaran reformator Martin Luther.



2.2              GKPI Dibentuk dan Diproklamasikan
Surat keputusan Gubernur Sumatera Utara tertanggal 14 Agustus 1964 yang melarang pembentukan organisasi atau lembaga yang bertentangan dengan HKBP, atau lembaga yang bertentangan dengan peraturan HKBP, tidak menyurutkan gerakan yang sudah semakin marak dan berkombar di sejumlah warga dan pelayanan HKBP. Mereka tidak bersedia lagi berada di bawah kepemimpinan Pucuk Pimpinan HKBP. Pada tanggal 15 Agustus 1964, sejumlah warga dan pelayan yang sudah menyatakan diri memisahkan diri dari HKBP berhimpun di Pematang Siantar dan sepakat untuk membentuk organisasi gereja yang baru, tanpa sempat berkomunikasi dengan mereka yang ada di Medan.[16]
Kemudian mereka berkumpul di Pematang Siantar dan berkumpul di rumah Dr. Andar L. Tobing (rektor universitas HKBP yang dituduh korupsi) dan Dr. Sultan M. Hutagalung, sekaligus meminta pendapat dari kedua tokoh ini mengenai rencana pembentukan organisasi gereja yang baru. Mereka sepakat utuk memberi nama gereja ini yaitu Gereja Kristen Protestan Indonesia (GKPI), ini dikukuhkan dengan sebuah doa di rumah Pdt. Dr. Andar L. Tobing pada 16 Agustus.[17]
Sehari sebelum peresmian – yakni pada tanggal bersejarah, Hari Reformasi 31 Oktober – diadakan musyawarah pertama GKPI (belum disebut sinode Am) yang dihadiri oleh utusan dari 35 jemaat yang sudah terbentuk selama dua bulan pertama itu. Musyawarah ini menghasilkan kesepakatan tentang konsep Tata Gereja, penyempurnaan pengurus sementara[18], dan waktu penyelenggaraan Sinode Am yang pertama.[19] Pada tanggal peresmian GKPI 1 November 1964, selain dilantik Pengurus Pusat GKPI, ditahbis juga 13 orang Pendeta baru.[20]


Bab III
KESIMPULAN
Kelahiran dan keberadaan GKPI tidak lepas dari kehadiran dan perkembangan kekristenan di Indonesia, terutama di Tanah Batak. Walaupun dari namanya GKPI bukanlah gereja Batak, namun dari latar belakang kelahiran dan dalam proses perkembangannya, GKPI sangat sarat diwarnai ke-Batak-an and kekristenan Batak.
Proses kedatangan kekristenan di Tanah Batak sejak awal abad ke-19 juga dipahami dan dihayati GKPI sebagai bagian dari sejarah kemunculannya. Para penginjil dari Barat, antara lain Nomensen, juga dipahami GKPI sebagai bagian dari latar belaakang dan sejarahnya, sehingga GKPI juga ikut mengenang, memperingati dan menghormati kedatangan mereka, serta mewarisi nilai-nilai yang mereka tanamkan.
Serangkaian gejolak yang terjadi di HKBP, terutama sejak akhir 1950-an dan awal 1960-an, sangat nyata memicu terbentuknya GKPI. Berbagai gerakan yang muncul di HKBP dengan maksud untuk menata dan menertibkan kembali gereja Batak terbesar ini menjadi cikal-bakal lahirnya GKPI. Banyak tokoh dari beberapa gerakan itu kemudian menjadi tokoh perintis dan pemrakarsa lahirnya GKPI.
Konteks sosial-politik-ekonomi di Indonesia, khusus-nya di Sumatera Utara, ikut melatarbelakangi dan mendorong kemunculan GKPI, sekaligus menimbulkan berbagai kesulitan ketika GKPI nanti terbentuk. Ini memperlihatkan bahwa keberadaan gereja, termasuk GKPI, tidak lepas dari konteks sosial-politik-ekonomi negeri ini.
Berbagai peristiwa dan realitas yang menjadi latar belakang dan konteks kemunculan dan perkembangan GKPI ini patut kita perhatikan dan hargai, karena GKPI tidak lahir di ruang hampa. Berbagai unsur positif maupun negative yang terdapat atau berasal dari masa lalu, ikut mewarnai keberadaan dan perkembangan GKPI. Bila kemudian, di dalam perkembangan yang positif yang menghasilkan kemajuan, maupun gejolak dan kemelut yang menimbulkan kemunduran, semua itu bukanlah hal yang tiba-tiba. Ada kesinambungan dan pewarisan nilai-nilai.


DAFTAR PUSTAKA
Aritonang, Pdt. Prof. Dr. Jan S., Yubileum 50 Tahun GKPI, Tinjauan Sejarah dan Pandangan ke Depan, (Pematang Siantar: Kolportase Pusat GKPI, 2014)
Cooley, Frank., Indonesia: Church and Society, (Friendship Press 1968)
Laporan Konsultasi Teologi Sukabumi, 15-19 Januari 1982, Memasuki Sejarah Bersama Membaharui, Membangun dan Mempersatukan Gereja, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1982)
Lubis, Raja., Sejarah Timbul dan Berkembangnya GKPI, (Pematang Siantar: Kolportase Pusat GKPI, 2007)
Hale, Leonard., Jujur Terhadap Pietisme, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1996)
Hoekema, Berfikir Dalam Keseimbangan yang Dinamis, Sejarah Lahirnya Teologi Protestan Nasional Indonesia Sekitar tahun 1860-1960, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1997)
Hutabarat, A., Dokumen Menuju Sejarah Berdirinya GKPI (Pematang Siantar: Tata Penggembalaan, 2001)
Hutahuruk, JR. (Ed), Tuhan Menyertai Umat-Nya Jubilium 125 tahun HKBP
Seminarium Sipoholon, Panduan Pada Perayaan Jubileum 125 tahun HKBP 7-12 Oktober 1986, (Tarutung: Kantor Pusat HKBP, 1986)
Simanjuntak, BA., “Budaya Konflik Krisis HKBP dan Kelengahan Strategik”, Gereja di Pentas Politik, Binar Sitompul, Rainy Hutabarat (Ed) (Jakarta: Yakoma-PGI 1997)
Tambunan, A.M. & S. Marantika, Beberapa Tjatatan mengenai Perkundjungan Fact-Finding sekitar Persoalan dalam HKBP, (Desember 1963)



[1] Laporan Konsultasi Teologi Sukabumi, 15-19 Januari 1982, Memasuki Sejarah Bersama Membaharui, Membangun dan Mempersatukan Gereja, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1982), 42.
[2] Hoekema, Berfikir Dalam Keseimbangan yang Dinamis, Sejarah Lahirnya Teologi Protestan Nasional Indonesia Sekitar tahun 1860-1960, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1997), 27.
[3] Seminarium Sipoholon, Panduan Pada Perayaan Jubileum 125 tahun HKBP 7-12 Oktober 1986, (Tarutung: Kantor Pusat HKBP, 1986), 12.
[4] Leonard Hale, Jujur Terhadap Pietisme, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1996), 84.
[5] Sekitar tahun 1960-an bdk dengan HKBPS yang kemudian beralih menjadi nama GKPS lahir dari pergumulan oleh beberapa tokoh berlatar belakang etnis Simalungun, alasan latarbelakang sosio budaya, demikian juga dengan HKBPA yang kemudian menjadi GKPA di Padang Sidempuan, bukan oleh karena konflik internal yang melanda institusi HKBP, lihat di : Sejarah Perwujudan GKPA Dengan Latar Belakang Perjalanan Zending, (Padang Sidempuan: Kantor Pusat GKPA, 1987), 177-180.
[6] Pdt. Prof. Dr. Jan S. Aritonang, Yubileum 50 Tahun GKPI, Tinjauan Sejarah dan Pandangan ke Depan, (Pematang Siantar: Kolportase Pusat GKPI, 2014), 9-10.
[7] Belakangan jumlahnya kian menurun, seiring dengan kian mengentalnya ciri ke-Batak-an di GKPI.
[8] JR. Hutahuruk (Ed), Tuhan Menyertai Umat-Nya Jubilium 125 tahun HKBP, 35.
[9] Frank Cooley, Indonesia: Church and Society, (Friendship Press 1968), 20.
[10] Ibid, 68.
[11] Ibid.
[12] BA Simanjuntak, “Budaya Konflik Krisis HKBP dan Kelengahan Strategik”, Gereja di Pentas Politik, Binar Sitompul, Rainy Hutabarat (Ed) (Jakarta: Yakoma-PGI 1997), 52.
[13] Pdt. Prof. Dr. Jan S. Aritonang, 55.
[14] A.M. Tambunan & S. Marantika, Beberapa Tjatatan mengenai Perkundjungan Fact-Finding sekitar Persoalan dalam HKBP, (Desember 1963), 4.
[15] Ibid.
[16] Pdt. Prof. Dr. Jan S. Aritonang,  61.
[17] Ibid, 62.
[18] A. Hutabarat, Dokumen Menuju Sejarah Berdirinya GKPI (Pematang Siantar: Tata Penggembalaan, 2001), 19-20.
[19] Raja Lubis, Sejarah Timbul dan Berkembangnya GKPI, (Pematang Siantar: Kolportase Pusat GKPI, 2007), 30-31.
[20] Pdt. Prof. Dr. Jan S. Aritonang, 64.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar