Senin, 07 Mei 2018

MAKNA JABATAN YESUS SEBAGAI NABI, IMAM DAN RAJA


PENDAHULUAN
Yang disebut jabatan adalah pekerjaan yang ditugaskan oleh penguasa yang lebih tinggi daripada yang melaksanakan pekerjaan itu. Adapun Penguasa yang lebih tinggi itu di sini adalah Tuhan Allah sendiri. Jadi jikalau karya penyelamatan Kristus dipandang dari segi jabatanNya, hal itu berarti, bahwa Kristus menunaikan tugas penyelamatanNya itu bukan karena kemauanNya sendiri, bukan atas namaNya sendiri. Penyelamatan yang dikerjakan adalah suatu tugas yang diterimakan oleh Tuhan Allah sendiri kepadaNya. Ia bukan orang yang mengajarkan suatu ajaran baru, yang timbul dari pikiranNya sendiri. Ia juga bukan hanya seorang yang baik, yang layak dijadikan teladan bagi manusia. Sebab Ia, karena jabatanNya, memiliki kuasa. Karya penyelamatanNya dilakukan atas nama Tuhan Allah sendiri.[1]
   Dalam Alkitab dan Gereja Kristen, Yesus disebut Kristus. Dalam bahasa Yunani, Kristus artinya “Yang diurapi”. Dalam bahasa Ibrani disebut Masyiakh atau Mesias. Hal ini menunjukkan adanya suatu jabatan yang dimiliki Kristus. Dalam PL terdapat tiga macam jabatan yaitu nabi, imam dan raja. Mereka yang memiliki jabatan ini adalah mereka yang telah diurapi dengan minyak urapan. Mereka dipanggil untuk melaksanakan suatu tugas istimewa, dan diperlengkapi dengan karunia Tuhan.[2] Ajaran tentang ketiga jabatan ini menekankan kesatuan antara pekerjaan Yesus Kristus dengan PribadiNya. Yesus Kristus sendiri adalah Jalan, Kebenaran, serta Hidup (Yoh. 14:6).[3]
Calvinlah yang mula-mula menyadari pentingnya membedakan tiga jabatan Kristus ini dan memperhatikan serta membicarakan ketiga jabatan tersebut secara terpisah dalam Intitutio. Sebagai nabi Ia mewakili Allah di hadapan manusia; sebagai imam Ia mewakili manusia di hadapan hadirat Allah, dan sebagai raja Ia memerintah dan memperbaharui pemerintahan manusia. [4]

I.              YESUS SEBAGAI NABI
Pengertian Alkitab tentang seorang nabi
Perjanjian Lama memakai tiga kata untuk menunjuk nabi, yaitu nabhi, ro’eh, dan chozeh. Arti menyeluruh dari kata nabhi tidak diketahui dengan pasti, tetapi terbukti dari ayat-ayat dari Kel. 7:1 dan Ul. 18:18 bahwa kata itu menunjukkan arti seseorang yang datang dengan sebuah berita dari Allah kepada umatNya. Kata ro’eh dan chozeh menekankan kenyataan bahwa nabi adalah seseorang yang menerima wahyu dari Allah, terutama dalam bentuk visi. Istilah lain yang dipakai ialah “manusia dari Allah”, “utusan Allah” dan “pengawal”. Ini menunjukkan bahwa nabi adalah yang melayani Tuhan secara khusus. Dalam Perjanjian Baru dipakai kata prophetes dan kata ini terdiri dari kata pro dan phemi, yang berarti “mengatakannya langsung”.[5]
Dengan demikian nabi adalah orang yang dipanggil untuk menjadi ‘mulut’ Allah, artinya: orang yang dipanggil menjadi nabi itu dijadikan alat Allah untuk berfirman kepada umatNya (Kel. 4:16; bnd. Yer. 20:7-9).[6] Pekerjaan nabi menurut J.Wesley Brill mempunyai dua bagian. Pertama, pekerjaan nabi yaitu akan mengatakan kebenaran dan kehendak Allah. Kedua, ia akan bernubuat yaitu memberitahukan apa-apa yang nanti terjadi. Dengan itu ia menjadi penyelidik dan peninjau. Seorang nabi juga mempunyai pengertian atas hal-hal yang sudah jadi, dan dapat melihat hal-hal yang tidak kelihatan bagi orang-orang lain. Pekerjaan seorang nabi diterangkan dalam Keluaran 4:10-17.[7]
Kenabian Kristus
            Alkitab menyaksikan melalui lebih dari satu cara jabatan kenabian Kristus. Ia telah disebutkan lebih dahulu sebagai nabi dalam Ul. 18:15, sebuah ayat yang dipakai untuk menunjuk Kristus dalam Kis. 3:22, 23. Ia sendiri menyebut diri-Nya nabi dalam Luk.13:13. Lebih jauh lagi Ia mengklaim bahwa diriNya membawa pesan dari Bapa-Nya, Yoh. 8:26-28; 12:49-50; 14:10,24; 15:15; 17:8,20; Ia menyatakan hal-hal yang akan terjadi kemudian, Mat. 7:29. Karya-Nya yang agung menjadikan pesan yang Ia sampaikan otentik. Berkenaan dengan semua ini tidaklah mengherankan jika orang-orang mengenali Dia sebagai nabi, Mat 21:11,46; Luk. 7:16; 24:19; Yoh. 3:2; 4:19; 6:14; 7:40; 9:17.[8]
            Calvin mengatakan, bahwa gelar “Kristus” tidak saja ada hubungannya dengan salah satu dari ketiga jabatan itu, tetapi dengan semuanya. Juga sebagai Nabi, Ia adalah “Kristus”. Itulah perbedaannya Ia dengan nabi-nabi yang lain yaitu isi dari pemberitaanNya sebagai Nabi adalah Dia sendiri dan pekerjaanNya. Sebab nubuat, yang diadakan Roh Kudus memberi kesaksian tentang Yesus Kristus (Why. 19:10). Sejak dahulu dikatakan bahwa sedari kekal Ia berjabatan Nabi; sebab sedari kekal Ia adalah Firman Allah (Yoh. 1:13; Ibr. 1:1-4).[9] Kristus adalah Nabi yang sempurna.
            Jabatan Yesus sebagai nabi pun dipenuhi dengan mujizat-mujizat. Mujizat-mujizat Yesus adalah bukti kasih-Nya sebagai imam, akan tetapi itupun adalah pemberitaanNya sebagai Nabi, yakni bahwa kelak akan ada suatu dunia yang tidak akan terganggu oleh kuasa Iblis, penyakit, dosa dan maut untuk selama-lamanya. Dengan pengajaran dan perumpamaan-perumpamaanNya, mujizat-mujizat dan tanda-tandaNya, Yesus menyatakan diri sebagai nabi.[10]

II.           YESUS SEBAGAI IMAM
Pengertian Alkitab tentang seorang Imam
            Kata Perjanjian Lama untuk imam tanpa terkecuali adalah kohen. Satu-satunya pengecualian dijumpai dalam ayat-ayat yang menyebutkan tentang imam-imam yang berzinah, 2 Raj. 23:5; Hos. 10:5; Zef. 1:4 di mana dipergunakan kata chemarim. Arti mula-mula dari kohen tidak diketahui dengan pasti. Bukan mustahil bahwa pada masa awalnya kata itu dapat menunjukkan fungsi sipil maupun fungsi dalam peribadahan, bnd 1 Raj. 4:5; 2 Sam. 8:18; 20:26. Jelas bahwa kata itu selalu menunjukkan arti tentang seseorang yang memegang jabatan yang mulia dan penuh tanggung jawab, dan mempunyai otoritas atas orang-orang lain; dan hampir tanpa pengecualian imam berarti petugas dalam peribadahan. Kata Perjanjian Baru untuk imam adalah hierus  yang asalnya tampaknya berarti “ia yang perkasa”, dan kemudian berarti “seseorang yang sakral”, “seorang yang mempersembahkan diri kepada Tuhan”.[11]
            Seorang imam ialah pengantara, yaitu seorang yang berdoa kepada Allah bagi manusia yang berdosa, Im. 4:16-18. Tidak berapa lama sesudah peristiwa air bah Nuh yang besar itu, orang dipilih, diserahkan dan diasingkan untuk jabatan imam. Kepada mereka itu diwajibkan mengadakan kurban karena dosa serta berdoa kepada Allah untuk orang-orang berdosa yang tidak ada hak datang kepada Allah. Oleh sebabitu imam harus mempersembahkan kurban darah karena dosa. Tetapi hak itu hanya diberi kepada imam. Mereka menjadi pengantara antara Allah dan manusia, yang oleh kurbannya dan doanya dosa diampuni. Maka akan ada pendamaian antara Allah dan manusia. Itu jabatan imam dalam Perjanjian Lama.[12]
Keimaman Kristus
Perjanjian Lama menyatakan dan menyebutkan lebih dahulu tentang keimaman dari sang Penebus yang akan datang. Ada acuan-acuan yang jelas tentang hal ini dalam Mzm. 110:4 dan Za.6:13. Lebih jauh lagi keimaman Perjanjian Lama dengan jelas menggambarkan keimaman sang Mesias. Dalam Perjanjian Baru hanya ada satu kitab saja di mana Ia disebut sebagai Imam, yaitu Surat Ibrani, akan tetapi dalam surat ini nama-Nya disebutkan berulang kali yaitu dalam 3:1; 4:14; 5:5; 6:20; 7:26; 8:1.[13]
Di dalam jabatanNya sebagai Imam Tuhan Yesus bukan mempersembahkan korban dari darah binatang, melainkan ia mengorbankan diriNya sendiri (Ibr. 10:10; 7:25). Dalam Ibr. 7 Kristus menjadi Imam Besar menurut peraturan Melkisedek, bukan yang Harun, Lewi maupun Yehuda.[14] Keimaman Melkisedek adalah lebih tua daripada keimaman Harun: Abraham menghormati Melkisedek sebagai atasannya, jadi pastilah Melkisedek melebihi keturunan Abraham seperti Lewi dan Harun. Keimaman Yesus menyerupai keimaman Melkisedek: tidak didasarkan pada silsilah manusia dan tidak dapat dipindah-tangan-kan kepada orang lain, sebab keimaman ini langsung berdasarkan pemilihan serta pemanggilan oleh Allah (Ibr. 7:24).[15]
Jabatan Kristus sebagai Imam pertama-tama mengandung arti, bahwa telah dilaksanakanNya pendamaian besar antara Allah dengan dunia kita, satu kali untuk selama-lamanya, oleh korban yang satu itu di Golgota. Oleh sebab itu Ia bukan saja digelari “Imam”, tetapi “Imam Besar”, bahkan “Imam Mahabesar”, yang melebihi setiap imam lainnya (Ibr. 4:14). Terutama surat kepada orang-orang Ibranilah yang mengemukakan pokok pemberitaan ini yaitu “Kristus sebagai Imam Besar”.

III.        YESUS SEBAGAI RAJA
Pemberitaan Alkitab tentang seorang Raja[16]
            Pada zaman Hakim-hakim, zaman yang penuh kekeruhan, ketika bangsa Israel meminta kepada Gideon: “Biarlah engkau memerintah kami”, maka jawab Gideon: “Aku tidak akan memerintah kamu dan juga anakku tidak akan memerintah kamu, tetapi TUHAN yang akan memerintah kamu” (Hak. 8:22-23). Kemudian mereka meminta seorang raja kepada Samuel. Bangsa Israel menolak Allah sebagai Raja karena mereka ingin menyaingi bangsa-bangsa lainnya di dunia. Oleh karena mereka mendesak, Tuhan memberi seorang raja yang sesuai dengan kehendak bangsa Israel, tetapi yang kemudiannya tidak sesuai dengan hati Tuhan.
            Saul adalah raja yang dipilih Allah. Sejarah kerajaan Saul ialah sejarah penolakan kerajaan Allah. Kemudian bangsa Israel memilih seorang yang sesuai dengan hatiNya yaitu Daud. Kerajaan Daud adalah kerajaan teokrasi yakni kerajaan yang melaksanakan kekuasaannya atas nama Allah. Namun pada masa pemerintahan sesudah Daud, kerajaan teokrasi ini gagal. Mereka berbalik dan tidak setia kepada Allah. Dan kadang-kadang kerajaan mereka menjadi suatu kerajaan yang bermusuhan dengan Kerajaan Allah. Dan akhirnya orang Israel selalu merindukan Raja yang sejati.
Kristus sebagai Raja
            Pada waktu Yesus akan dilahirkan, malaikat Gabriel berkata kepada Maria, bahwa anak Maria akan menjadi raja atas kaum keturunan Yakub sampai selama-lamanya, dan bahwa KerajaanNya tidak akan berkesudahan (Luk. 1:32-33). Yesus adalah Raja yang dijanjikan dan dinanti-nantikan bangsa Israel sebenarnya. Hal ini juga mengingatkan kembali akan apa yang telah dinubuatkan dalam Dan. 7:14 yang menyebutkan bahwa kekuasaan Mesias adalah kekuasaan yang kekal, yang tidak akan lenyap, dan bahwa kerajaanNya ialah kerajaan kekal, yang tidak akan lenyap, dan bahwa kerajaanNya ialah kerajaan yang tidak akan musnah. [17]
            Yesus menyatakan diriNya sebagai Raja, misalnya dalam mengusir kuasa-kuasa jahat (Luk. 4:36), dalam membersihkan Bait Allah di Yerusalem (Mat. 21:12), di hadapan wakil pemerintah Pilatus (Yoh. 18:37) dan terutama oleh kebangkitanNya serta kenaikanNya ke surga. Para murid dan pengikutNya mengaku Dia sebagai sebagai Raja (Kis. 2:36; 17:7; 1 Kor. 15:25; Ef. 1:20-22). KerajaanNya adalah kebenaran (keadilan) dan damai sejahtera dan sukacita, ciptaan Roh Kudus (Rm. 14:17). Yesus Kristus memerintah dengan perantaraan Firman dan Roh; kuasa pemerintahanNya adalah kuasa yang bersifat rahmat.[18]
            Jabatan Kristus sebagai Raja Rohani adalah pemerintahan kerajaanNya atas regnum gratiae, yaitu atas umatNya atau GerejaNya. Kedudukan itu adalah kuasa sebagai pengantara yang ditetapkan di hati setiap orang percaya. Lebih jauh lagi, keadaan sebagai Raja ini bersifat rohaniah, sebab keadaan ini secara langsung mengandung maksud rohani dan tujuan akhir yang bersifat rohani, yaitu keselamatan atas umatNya. Dan akhirnya, keadaan sebagai raja ini juga bersifat rohani sebab dilaksanakan bukan dengan kekuatan dari luar tetapi oleh Firman Roh, yaitu Roh Kebenaran dan hikmat, keadilan dan kesucian, anugerah dan kasih setia. [19]
            Kewajiban Raja adalah memerintah, melindungi dan memelihara rakyatNya. Untuk melindungi umatNya Kristus telah berperang dengan kerajaan gelap, hingga menang. Oleh karena itu maka barangsiapa menjadi milikNya, ia adalah orang yang benar-benar merdeka (Yoh. 8:36; Gal. 5:1), yang dimerdekakan dari dosa dan maut. Bagi umatNya, Kristus juga menjadi Kepalanya, yang memerintah serta memeliharanya.[20]
IV.        KESIMPULAN
Jadi Tuhan Yesus Kristus memiliki tiga macam jabatan, yaitu jabatan Nabi, Imam dan Raja. Ketiga jabatan ini tidak dapat dipisahkan yang satu daripada yang lain. Sebab ketiga jabatan ini sebenarnya mewujudkan jabatan satu. Keadaan Tuhan Yesus memang berlainan sekali dengan orang-orang yang memangku jabatan di tengah-tengah Israel. Di tengah-tengah Israel tiap jabatan hanya boleh dipangku oleh satu orang saja. Bahkan ada jabatan yang tidak boleh sama sekali dirangkap, yaitu jabatan raja dan imam. Apa yang dipisah-pisahkan di  dalam Perjanjian Lama dipersatukan di dalam diri Tuhan Yesus Kristus.
Jikalau Tuhan Yesus mengajar, umpamanya, hal itu bukan dilakukanNya hanya sebagai Nabi semata-mata, melainkan Ia mengajar juga sebagai Imam dan Raja. Pada waktu Ia diadili oleh Pontius Pilatus, artinya: ketika Ia siap untuk mengorbankan diriNya sebagai Imam yang berkorban, Ia mengakui, bahwa Ia adalah Raja, dan di situ juga Ia menyaksikan hal kebenaran yaitu Nabi (Yoh. 18:33,36,37). Jadi ketiga jabatan itu dilaksanakan bersamaan. Ia disalibkan, bukan hanya sebagai Imam yang berkorban, tetapi juga sebagai Raja dan sebagai Nabi yang bersaksi tentang karya Tuhan Allah (Yoh. 18:19-22). Jikalau Ia melakukan mujizat, hal itu bukan hanya dilakukan dalam jabatanNya sebagai Raja yang berkuasa, tetapi juga dalam jabatanNya sebagai Imam yang menaruh belas kasihan dan sebagai Nabi yang memberitakan kehendak Allah, dengan perantaraan mujizat itu. Itulah sebabnya maka mujizat Tuhan Yesus disebut tanda, dengannya Ia menyatakan kemuliaanNya (Yoh. 2:11, dll).[21]
Yesus adalah Raja yang berkuasa dan memerintah seluruh alam semesta dan segala isisnya, namun Ia juga adalah Imam yang melayani dan mempersembahkan DiriNya sebagai korban untuk menyelamatkan manusia dari maut, dan Ia pun yang adalah Raja dan Imam juga seorang Nabi yang berkuasa, melayani, dan bersaksi akan kedaulatan dan kekuasaan Allah di dunia ini.
DAFTAR PUSTAKA

Berkhof, Louis., Teologi Sistematika 3, (Surabaya: Momentum, 2004)
Brill, J.Wesley., Dasar Jang Teguh, (Bandung: Kemah Indjil Geredja Masehi, 1953)
Hadiwijono, Harun., Iman Kristen, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2015)
Niftrik, Dr.G.C.Van, dan Dr.B.J.Boland, Dogmatika Masa Kini, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1981)
Verkuyl, Dr.J., Aku Percaya, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1995)


[1] Harun Hadiwijono, Iman Kristen, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2015), 322-323.
[2] Dr.J.Verkuyl, Aku Percaya, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1995), 130-131.
[3] Dr.G.C.Van Niftrik dan Dr.B.J.Boland, Dogmatika Masa Kini, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1981), 323.
[4] Louis Berkhof, Teologi Sistematika 3, (Surabaya: Momentum, 2004), 123.
[5] Ibid, 127.
[6] Harun Hadiwijono, 324.
[7] J.Wesley Brill, Dasar Jang Teguh, (Bandung: Kemah Indjil Geredja Masehi, 1953), 107-108.
[8] Louis Berkhof, 130.
`               [9] Dr.G.C.Van Niftrik dan Dr.B.J.Boland, 328.
[10] Dr.J.Verkuyl, 135.
[11] Louis Berkhof, 133-134.
[12] J.Wesley Brill, 109.
[13] Louis Berkhof, 135.
[14] Harun Hadiwijono, 326.
[15] Dr.G.C.Van Niftrik dan Dr.B.J.Boland, 331.
[16] Dr.J.Verkuyl, 142-143.
[17] Harun Hadiwijono, 326.
[18] Dr.G.C.Van Niftrik dan Dr.B.J.Boland, 332.
[19] Louis Berkhof, 234.
[20] Harun Hadiwijono, 326-327.
[21] Harun Hadiwijono, 324.

1 komentar: